“Sudah cukuuuppp!! Aku pikir, kita memang tidak cocok. Aku Api, dan kau? Kau hanyalah setetes air, yang mudah menguap lalu hilang di udara. Sudah kodratku untuk terus membara dan mengenyahkan segala hal yang lemah, termasuk kau!”
***
Air hanya bisa menatap tubuhnya yang mulai jatuh perlahan dari cawan yang berkilauan. Ia mulai keruh karena bercampur dengan debu di sehelai daun yang kini ditempatinya. Rupanya Api sudah tak menginginkannya lagi. Sang Api mulai memberinya energi panas berlebih. Mungkin, tak berapa lama lagi Air akan mulai menguap, kemudian menghilang di udara.
Air mulai merenungkan apa yang pernah didengarnya, tentang mitos Air dan Api. Dulu Air diciptakan untuk menyertai Sang Api. Jika Api yang destruktif disandingkan dengan Air, katanya akan menghasilkan perpaduan yang harmonis, karena Air mampu meredam gejolak Api yang ingin melahap apapun disekelilingnya. Air pun akan terlihat lebih kuat dengan semangat yang dikobarkan Sang Api. Tapi nyatanya, mitos tak selamanya benar. Tak selamanya pula, Air sanggup untuk mengimbangi Sang Api.
Kini, Air sudah bisa melihat uap disekelilingnya. Panasnya Api sudah cukup untuk membuatnya hilang dalam hitungan menit.
***
“Tolonglah Api, aku hanya ingin bermain dengan kumpulan Air disana. Aku rindu belaian Angin saat menyapa kami. Kau kan tahu, Angin tak akan bisa menyapaku jika aku sedang bersamamu. Angin bisa membuat kobaran apimu makin besar, dan itu dapat membahayakan kita semua. Dan lagi, aku sudah mulai lupa asinnya Air Laut. Sudah lama aku tak mengunjunginya”.
“Tidak!! Pokoknya kau tidak aku izinkan! Sudah hampir seminggu kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu, menjaga tanaman agar tetap subur. Minggu lalu pun, kita tak bisa bertemu karena kau harus mengurus pohon yang hampir layu. Tak tahukah kau betapa aku merindumu, Air?”
“Aku pun sangat rindu padamu, Api. Tapi aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Aku cinta dengan pekerjaanku ini, kau pun tahu itu. Tapi, tak bisakah aku meminta bagian waktu kita untuk sedikiiiiiit saja kesenanganku? Toh, kita kan tetap bisa berhubungan lewat Angin, Burung, dan Bunga-bunga. Please?”
“Terserah kamu! Tapi kau harus tahu, aku tak suka dengan permainan kesukaanmu itu!!”
“Please, Api... Hanya permainan ini yang bisa menghilangkan kepenatanku berkeliling kota menjaga kesuburan para tanaman.”
“Ah, sudahlah. Kau memang tak mau bertemu denganku. Kau lebih memilih teman-temanmu daripada aku. Kau memang tidak rindu denganku! Sudah, sana!! Urus saja pekerjaanmu dan teman-temanmu, serta permainan konyolmu itu!!”
“Bukan itu maksudku, Api. Percayalah, aku pun rindu padamu. Aku ingin bertemu denganmu. Tapi pekerjaanku belum selesai, belum lagi aku memang sudah ada janji dengan teman-temanku. Aku rindu padamu, tapi aku juga rindu dengan teman-temanku. Aku rindu merasakan senangnya bermain-main dengan mereka.”
“Sudahlah, tak perlu beralasan lagi! Kita memang tak cocok! Mungkin lebih baik kita jalani kehidupan kita masing-masing!”
***
Air tak menyangka, Api yang dikenalnya sudah berubah. Api bukan lagi Api yang begitu pengertian. Kobaran apinya pun mulai membesar dan menakutkan. Ketakutan Air akhirnya terjadi. Nyala Api mulai membesar dan Air sudah tak cukup kuat untuk meredamnya.
“Api, tenangkan dirimu. Lihatlah, kobaran apimu makin membesar. Hati-hati, kau tentu tak mau menghanguskan siapapun bukan?”
“Aahh. Diam kau Air! Kau itu tahu apa? Kau cuma setetes air yang tak punya daya apapun! Kau itu belum punya pengalaman, jadi tak perlu menasehati aku tentang apa yang harus atau tidak perlu aku lakukan. Jangan berlagak di depanku! Aku yang lebih tahu tentang apa yang harus aku lakukan dan katakan! Jangan membuatku terlihat bodoh dengan segala macam nasehatmu!!”
“Api, tenanglah sedikit. Bukan itu yang aku maksud. Aku tak pernah bermaksud membuatmu terlihat bodoh atau apapun. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Itu saja.”
“Masa bodoh denganmu!!”
***
Sebentar lagi, Air akan benar-benar menguap. Ia akan berkumpul bersama teman-temannya di awan. Air berdoa agar awan tempatnya kelak selalu bisa mengikuti Sang Api. Dengan demikian, ia masih bisa menjaga kobaran Api tak terlalu besar. Jika Api mulai makin membara, Air dan teman-temannya bisa turun sebagai hujan, agar Api tak terluka dengan kobarannya sendiri.
Air memang belum berpengalaman dalam menghadapi Sang Api. Pengetahuannya tentang kehidupan pun masih lebih kecil dari seujung kuku seorang balita.
“Mungkin, Air memang bukan yang terbaik untuk Sang Api”.
Sedetik kemudian, Air telah habis menguap dan pergi bersama Angin ke dalam awan.
***
Air hanya bisa menatap tubuhnya yang mulai jatuh perlahan dari cawan yang berkilauan. Ia mulai keruh karena bercampur dengan debu di sehelai daun yang kini ditempatinya. Rupanya Api sudah tak menginginkannya lagi. Sang Api mulai memberinya energi panas berlebih. Mungkin, tak berapa lama lagi Air akan mulai menguap, kemudian menghilang di udara.
Air mulai merenungkan apa yang pernah didengarnya, tentang mitos Air dan Api. Dulu Air diciptakan untuk menyertai Sang Api. Jika Api yang destruktif disandingkan dengan Air, katanya akan menghasilkan perpaduan yang harmonis, karena Air mampu meredam gejolak Api yang ingin melahap apapun disekelilingnya. Air pun akan terlihat lebih kuat dengan semangat yang dikobarkan Sang Api. Tapi nyatanya, mitos tak selamanya benar. Tak selamanya pula, Air sanggup untuk mengimbangi Sang Api.
Kini, Air sudah bisa melihat uap disekelilingnya. Panasnya Api sudah cukup untuk membuatnya hilang dalam hitungan menit.
***
“Tolonglah Api, aku hanya ingin bermain dengan kumpulan Air disana. Aku rindu belaian Angin saat menyapa kami. Kau kan tahu, Angin tak akan bisa menyapaku jika aku sedang bersamamu. Angin bisa membuat kobaran apimu makin besar, dan itu dapat membahayakan kita semua. Dan lagi, aku sudah mulai lupa asinnya Air Laut. Sudah lama aku tak mengunjunginya”.
“Tidak!! Pokoknya kau tidak aku izinkan! Sudah hampir seminggu kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu, menjaga tanaman agar tetap subur. Minggu lalu pun, kita tak bisa bertemu karena kau harus mengurus pohon yang hampir layu. Tak tahukah kau betapa aku merindumu, Air?”
“Aku pun sangat rindu padamu, Api. Tapi aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku. Aku cinta dengan pekerjaanku ini, kau pun tahu itu. Tapi, tak bisakah aku meminta bagian waktu kita untuk sedikiiiiiit saja kesenanganku? Toh, kita kan tetap bisa berhubungan lewat Angin, Burung, dan Bunga-bunga. Please?”
“Terserah kamu! Tapi kau harus tahu, aku tak suka dengan permainan kesukaanmu itu!!”
“Please, Api... Hanya permainan ini yang bisa menghilangkan kepenatanku berkeliling kota menjaga kesuburan para tanaman.”
“Ah, sudahlah. Kau memang tak mau bertemu denganku. Kau lebih memilih teman-temanmu daripada aku. Kau memang tidak rindu denganku! Sudah, sana!! Urus saja pekerjaanmu dan teman-temanmu, serta permainan konyolmu itu!!”
“Bukan itu maksudku, Api. Percayalah, aku pun rindu padamu. Aku ingin bertemu denganmu. Tapi pekerjaanku belum selesai, belum lagi aku memang sudah ada janji dengan teman-temanku. Aku rindu padamu, tapi aku juga rindu dengan teman-temanku. Aku rindu merasakan senangnya bermain-main dengan mereka.”
“Sudahlah, tak perlu beralasan lagi! Kita memang tak cocok! Mungkin lebih baik kita jalani kehidupan kita masing-masing!”
***
Air tak menyangka, Api yang dikenalnya sudah berubah. Api bukan lagi Api yang begitu pengertian. Kobaran apinya pun mulai membesar dan menakutkan. Ketakutan Air akhirnya terjadi. Nyala Api mulai membesar dan Air sudah tak cukup kuat untuk meredamnya.
“Api, tenangkan dirimu. Lihatlah, kobaran apimu makin membesar. Hati-hati, kau tentu tak mau menghanguskan siapapun bukan?”
“Aahh. Diam kau Air! Kau itu tahu apa? Kau cuma setetes air yang tak punya daya apapun! Kau itu belum punya pengalaman, jadi tak perlu menasehati aku tentang apa yang harus atau tidak perlu aku lakukan. Jangan berlagak di depanku! Aku yang lebih tahu tentang apa yang harus aku lakukan dan katakan! Jangan membuatku terlihat bodoh dengan segala macam nasehatmu!!”
“Api, tenanglah sedikit. Bukan itu yang aku maksud. Aku tak pernah bermaksud membuatmu terlihat bodoh atau apapun. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Itu saja.”
“Masa bodoh denganmu!!”
***
Sebentar lagi, Air akan benar-benar menguap. Ia akan berkumpul bersama teman-temannya di awan. Air berdoa agar awan tempatnya kelak selalu bisa mengikuti Sang Api. Dengan demikian, ia masih bisa menjaga kobaran Api tak terlalu besar. Jika Api mulai makin membara, Air dan teman-temannya bisa turun sebagai hujan, agar Api tak terluka dengan kobarannya sendiri.
Air memang belum berpengalaman dalam menghadapi Sang Api. Pengetahuannya tentang kehidupan pun masih lebih kecil dari seujung kuku seorang balita.
“Mungkin, Air memang bukan yang terbaik untuk Sang Api”.
Sedetik kemudian, Air telah habis menguap dan pergi bersama Angin ke dalam awan.