Saturday, 20 March 2010

.sempurna di hari ke tujuh.

Dua tahun, tapi baru sekarang dia memimpikan aku.
Dua tahun, tapi baru sekarang dia berjanji untuk menyiapkan diri menjadi imamku.
Dua tahun, tapi baru sekarang dia nyatakan kesungguhannya padaku.

Tahun lalu, dia suruh aku untuk meninggalkannya
"Lebih baik kau dengannya saja, yang sudah jelas. Daripada denganku yang belum tahu ke depannya mau bagaimana."
Begitu ucapnya saat ada pria lain yang mengajakku menjadi raja dan ratu sehari.
Meski terpukul dengan ucapannya, apakah aku meninggalkannya saat itu?
Tidak!
Meski bimbang dibuatnya, apakah aku meninggalkannya saat itu?
Sekali lagi, Tidak!
Karena aku masih mau menaruh harapan padanya.

Aku memang pernah sekali meninggalkannya sejenak, untuk kemudian kembali padanya.

Tapi kali ini, dia yang berkehendak mengakhiri cerita.
Lengkap dengan ucapan: Tak akan pernah memulai kembali cerita denganku!

Salahkah aku jika kemudian memulai cerita baru, tanpanya?
Salahkah aku jika kemudian memulai cerita baru dengan pemeran baru yang sanggup menjadi imamku?

Dan kemudian dia kembali hadir dengan segala penyesalan.
Penyesalan atas keputusan yang dibumbui prasangka dan emosi.
Penyesalan atas ucapan saat amarah berkuasa.
"Tinggalkan dia dan kembalilah padaku! Kuberi kau sepekan untuk mengakhiri ceritamu dengannya. Aku menyesal dengan keputusanku. Bukankah ucapan masih bisa diralat?"
Begitu permintaanmu saat tahu ada pemeran baru di dalam cerita.
Tapi tak semudah itu menjilat kembali keputusan yang sudah terucap.
Dan tak akan melepaskan sang pemeran baru.

Tuhan menciptakan dunia dalam enam hari, dan menyempurnakannya di hari ke tujuh.
Di hari ke tujuh ini pula, aku menyempurnakan (kembali) keputusanku.

semoga lekas sembuh

No comments:

Post a Comment