Monday, 13 December 2010

Tunggu Padang Mahsyarmu!

Bagi anak-anak kampung yang mengenal budaya madrasah, mungkin sudah khatam dengan berbagai petuah filsuf-agamis bijak. Mengapa saya katakan filsuf? Karena bagi saya (yang saat itu masih luar biasa naïve), kadang petuah-petuah itu disampaikan dengan gaya yang sok misterius, lengkap dengan alasan super njlimet berbasis Qur’an dan Hadist juga perilaku Nabi dan Rasul. Tanpa penjelasan yang lebih kekinian juga ilmiah. Biasanya tentang hal-hal kecil, yang mungkin sangat simple, sehingga kadang kita terima begitu saja. Misalnya:

“Saat kau melakukan sesuatu dengan tangan kananmu, jangan sampai tangan satunya lagi mengetahuinya.”
 “Jika kau berbuat buruk, mohon ampun dan rahasiakan hal itu. Jika kau berbuat baik, bersyukurlah dan rahasiakan juga hal itu.”

 Waktu itu, bagi saya yang masih super-duper-imut (sumpah ane zuzur!), pelajaran-pelajaran tersebut diterima dan disimpan dalam lapisan korteks otak besar. Tapi kemudian, setelah dipikir-pikir, pelajaran tersebut bukan semata-mata karena memang begitu adanya saat diperintahkan Tuhan lewat tangan kanannya, Sang Jibril. Tapi juga bisa dijelaskan secara logika, dengan rasa dan karsa manusia yang berbatas.

Sebutlah pelajaran pertama: Saat kau melakukan sesuatu dengan tangan kananmu, jangan sampai tangan satunya lagi mengetahuinya. Jelas hal ini menyuruh kita agar menyembunyikan apa yang dilakukan tangan kanan kita, dari tangan satunya lagi, si tangan kiri. Tapi kenapa?

Sejak berabad-abad, kata “kanan” diidentikkan dengan hal-hal positif. Tangan kanan: orang kepercayaan. Sedari kecil pun, kita diajari untuk melakukan sesuatu dengan tangan kanan. Tak jarang para orangtua akan membujuk balita mereka dengan ucapan: “ayo, mana tangan bagusnya?” ,“makan harus pakai tangan kanan ya”, dsb. Bahkan gerakan salam dalam sholat pun dimulai dengan menoleh ke arah kanan, bukan kiri. Sehingga, makna atas apa yang dilakukan tangan kanan menjadi makna konotasi yang merujuk pada perbuatan-perbuatan kebaikan. Contohnya? Bisa menyantuni anak yatim, memberikan sodaqoh, membantu kawan yang jatuh untuk berdiri, atau hal-hal baik lainnya. Tapi mengapa sebuah kebaikan harus disembunyikan?

Ingat, kebaikan yang dilakukan si tangan baik harus dirahasiakan dari si tangan kiri. Kiri. Sudah sejak lama pula tangan kiri dimaknai negatif. Tak jarang, orang-orang akan mengerenyitkan alis saat melihat para kidal; mereka yang beraktivitas dengan menggunakan tangan kiri. Orang yang makan menggunakan tangan kiri akan dicap tak sopan. Karena tangan itu pula yang digunakan untuk ber-thaharah alias membersihkan diri saat BAB atau melakukan pekerjaan kotor lainnya! Dalam lingkup politik dan pemerintahan juga dikenal aliran kiri. Yang tentunya bukan sebagai aliran yang berada pada lajur yang dipercayai benar, lajur  yang dibentuk oleh kaum mainstream.

Lalu apa hubungannya antara kebaikan, tangan kanan, tangan kiri, dan sebuah rahasia?

Bisa jadi, pelajaran pertama itu mengandung kisah. Agar setiap kebaikan yang kita lakukan, tak perlu harus diketahui oleh yang lain. Kita menamainya dengan sebutan ikhlas, juga tanpa pamrih. Tujuannya mungkin untuk menjaga beningnya hati, agar tak dicemari hasrat ingin dipuji. Apalagi sudah kodrat manusia untuk selalu memamerkan apa-apa yang dia lakukan. Ini dorongan hasrat manusia untuk dihargai, diakui keberadaannya, sekaligus untuk berbagi informasi. Abraham Maslow mencatatnya sebagai kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri. Bahasa gaulnya: Narsis dan pengen Eksis!

Sedangkan pada pelajaran kedua tertera, apapun yang kau lakukan, baik itu buruk atau baik, simpan bagi dirimu sendiri. Sekali lagi, rahasiakan dari yang lain. Untuk perbuatan buruk tentu jelas alasannya: agar hanya kau dan Tuhanmu yang tahu perbuatan burukmu juga tobatmu. Di masyarakat sosial, kerahasiaan ini membuat status sosialmu akan tetap bernilai netral atau bahkan menjadi positif. Tapi bagaimana dengan perbuatan baik? Bukankah sebuah kebaikan itu harus ditularkan, agar nantinya menjelma sebagai kebaikan massif? Tentunya kita akan bangga dan berpuas diri jika bisa mengajak bahkan menjadi contoh bagi kebaikan orang lain. Upps, rupanya inilah alasannya: rasa bangga dan berpuas diri. Dalam bahasa lainnya disebut sebagai takabur alias sombong. Apa untungnya jika bisa mencontohkan tapi justru mempraktekkan nila setitik rusak susu sebelanga akibat muncul sepercik takabur?

Maka sekali lagi, inilah pentingnya berahasia. Sebagai tindakan preventif demi menghindari segala kejahatan hati yang mungkin menyeruak saat kebaikan ditonjolkan. Orang bilang, ikhlas itu susah. Tak heran jika sang rocker sampai berkelana mencari ilmu ikhlas (meski saat itu penyemangatnya adalah iming-iming secarik restu). Apalagi hati layaknya sebuah tisu tipis. Mudah menyerap apapun sekaligus mudah rusak. Begitu pentingnya menjaga hati, sampai-sampai dai (yang dulunya) kondang mencatatnya dalam sebait lirik: jagalah hati, jangan kau kotori.

Tapi bagaimana jika hati sudah terlampau dikotori segala takabur, pamrih, iri, juga dengki? Apa jadinya jika si tisu tipis itu telah diwarnai tinta-tinta kelam, bahkan sobek di beberapa sisinya? Untunglah, Tuhan di segala kepercayaan selalu mempunyai sabar tak terhingga, dan stok memaafkan yang tak terbatas. Dunia fana kita mengenalnya sebagai laku taubat. Jika masih enggan?

Maka: tunggulah Padang Mahsyarmu!

Sempurna dan Ketidaksempurnaan

No body’s perfect. Tak ada manusia yang sempurna. Tentunya, kau tak perlu menghitung Muhammad SAW. Karena dalam kepercayaan yang saya anut, mungkin beliaulah manusia paling sempurna. Pribadinya maksum, alias dijaga dari segala tindak tercela. Manusia yang saya maksud adalah kita. Ya, kita. Terdiri atas saya, Anda, juga mereka. Tapi apa hubungannya antara kita, manusia, dan kesempurnaan (atau mungkin ketidaksempurnaan)?

Hubungannya, karena manusia dilahirkan untuk tidak sempurna. Lalu mengapa Tuhan membentuk kita yang tidak sempurna ini? Dan saya pikir, mungkin saja alasannya demi menunjukkan kesempurnaan itu sendiri. Untuk menunjukkan bahwa hanya Dia satu-satunya yang Maha Sempurna. Sama halnya bahwa ketika kita sakit, kita baru bisa menikmati seperti apa nikmatnya sehat. Saat kita menyadari diri kita tidak sempurna, maka kita akan terpacu untuk memaknai kesempurnaan itu, bahkan mungkin berusaha meraihnya. Mesti persentasinya mendekati 0% (ingat, bagi saya, tidak pernah ada manusia yang sempurna), tapi tak ada salahnya bukan untuk berangan-angan? Toh kita hidup dari mimpi dan harapan.

Klausa bahwa tak ada manusia yang sempurna membuat saya mencoba untuk memaklumi diri dan lingkungan.  Saat saya masih belum bisa sepenuhnya sabar, saya mencoba untuk paham. Inilah manusia, sabar ada batasnya. Saat kita lupa, kembali saya coba untuk mengerti: manusia tak luput dari khilaf dan alpa. Itulah mengapa kita dibekali kemampuan menulis, membaca, mendengar, dan berbicara. Untuk mencatat apa yang harus kita ingat dan membaca catatan kita tersebut. Juga untuk mendengar apa-apa yang harus kita ingat, sekaligus mengucapkan apa yang telah diingat sebagai bukti bahwa kita berhasil mengingat.

Ah, rasanya makin lama tulisan ini makin ngelantur kemana-mana. Eh tapi, bukankah saya juga manusia? Hehe.

PS: Tulisan ini dibuat di tengah kondisi mencoba sabar, karena lagi-lagi, tiba-tiba speedy mati begitu saja. Seperti lagu Tenda Biru-nya Desi Ratnasari: tanpa undangan, tanpa putusan.  Sekaligus mencoba memahami, bahwa tak ada yang sempurna, termasuk juga Tuan Speedy ini (yang kemudian usaha ini gagal total dengan suksesnya). Dengan kata lain, ini adalah salah satu bentuk produk labil nan gagal yang sungguh jauh dari kesempurnaan, bahkan lebih dekat pada insting dasar manusia: ngambek!
PS (lagi): Setelah 24jam lebih, akhirnya, si speedy nyala. Semoga kali ini si speedy gak labil!

jatinangor.

Thursday, 2 December 2010

Pupuh Tagyana

PERTAMA. Ini kali pertama saya bersolo karir menempuh jarak Jatinangor-Jakarta, demi memenuhi permintaan seorang pria dengan lesung di pipi kanan. Pria yang saya sebut papachan—beberapa yang lain menyamakannya dengan pacar. Dan ternyata, mitos tentang kemacetan di ibukota tak sebatas isapan jempol belaka. Empat jam lebih dipanggang dalam bus (yang katanya) ber-AC. Terhadang macet berkali-kali. Tak berkutik, hanya bisa memeras keringat karena mesin AC mogok. Mungkin protes gara-gara kita—manusia—masih saja betah mencungkil ozon di atas sana. Ah lupakan perkara macet! Toh pepatah bilang, Jakarta tanpa macet ibarat sup lodeh tanpa santan. Malam pertama kedatangan saya disambut senyumnya, yang dipaksakan, untuk menghalau dinginnya air hujan. Rupanya sang papachan bergerimis ria. Dan saya hanya mampu mencium tangannya. Lalu mengukir sebentuk senyum sambil mengusap pipi gembilnya. Semoga saja luapan rasa terimakasih saya telah tersalurkan lewat pelukan ringan pada perut buncitnya di sepanjang perjalanan pertama saya naik motor di Jakarta *norak mode: ON.
-----------------------------------------------
GERAH. Tak cuma udara, tapi juga karena janji. Janji seekor kucing peranakan Cina yang ingin bertandang. Entah karena ia ingin mengeong atau justru mencakar. Oh ya, kucing ini kucing gaul. Hobinya menarik pelatuk senjata api. Ini pertama kalinya saya melihat kucing keturunan Cina yang senang tembak-tembakan. Tapi saya dengar kali ini ia mengidam batu, tepatnya melempar batu. Dan siang ini, jelaslah bahwa tak akan ada anak yang lahir dengan eces di sudut bibir. Dan di bawah dipan di lantai dua, tergeletak batu mungil yang duduk manis di sana. Segera saja, si kucing gaul ribut mengeong dan melesat naik kursi bulat berwarna tembaga di balkon. Meong. Meong. Meong. Mungkin masih menyimpan kesumat. Semalam ia hampir diangkut punggawa yang patroli. Subversif, katanya. Naaa, itulah akibatnya kalau nekat mendekati markas pusat di penghujung malam. Perlahan tapi pasti, batang rokok mulai terbakar di mulutnya, sambil sesekali rambut poni miring-selamat datang nya dirapihkan. Sampai kemudian langit sore menjelang, lengkap dengan aksesoris awan gelap. Dan si kucing bergelung nyaman di bawah kaki saya, berkutat dengan bantal-guling serta (lagi-lagi) poni-miring-selamat datang nya. Sesekali matanya yang hanya segaris melebar disertai erangan a la kucing garong. Maklum, kotak elektronik di hadapannya menyuguhkan ikan betina nan sekal dan rupawan. Dan kali ini ini, sang papachan seiya-sekata (eh, semeong maksudnya) dengan si kucing.
------------------------------------------------
MAMPET. Sudah hari kesekian, dan hidung kanan saya masih tetap setia dengan sensasi mampet yang ruar binasa. Tapi ini pagi pertama yang saya habiskan dengan menghabiskan sarapan racikan papachan. Wow! Pagi ini saya punya koki pribadi. Ahaha. Sarapannya sederhana. Tapi mengingat siapa yang sudah repot-repot bermain di dapur demi sebuah sarapan yang biasa-biasa saja, justru membuatnya tak lagi sesederhana kelihatannya. Apalagi, kita dibesarkan dalam sebuah budaya yang masih menganggap dapur bukan sebagai tempat alami bagi makhluk berjakun. Sarapan selesai, dan kami beranjak ke tempat nenek. Empat hari kemudian, baru diceritakan olehnya kalau saya-lah perempuannya yang pertama dikenalkan pada nenek. Tambahan lagi, pertama dikenalkan sebagai orang yang diambilnya dari jalan. Wahaha. Cara memperkenalkan yang unik. Sangat khas a la papachan.
------------------------------------------------
HOAX. Ah, dasar SuPervert! Padahal sudah berbulan-bulan chatting, lengkap dengan segala curhatan dan ejekan, tapi masih saja dia tega menyebut saya tak benar-benar nyata. Wahaha. Komedimu menyebalkan sekali, Ki Sanak. Apalagi kemudian dia mengucap hal yang dulu juga pernah terlontar dari bibir si penyuka-gadis-super-muda. Mungkin lain kali, saya memang harus menyamarkan pipi gembil di setiap foto. Ah ya, pria jangkung yang terdengar manis dengan logat cadelnya jangan sampai terlewat. Dia: si pemberi kultum tentang Chaerudim, juga tentang dua lainnya yang nomor seri-nya sudah terbang dari ingatan sejak saya melewati pintu kaca. Hehehe. Hmm, ingatan saya tentang angka memang tak pernah jadi brilian. Tapi sungguh, lekuk kelima action figure miliknya masih saja terbayang. Menggoda. Godaan yang bagi saya cukup sebanding dengan hasrat untuk menggaruk luka di betis kiri. Luka yang ajaib. Muncul tiba-tiba setelah bangun tidur, seperti jaelangkung. Saat mengadukan segaris luka, lelaki saya hanya geleng-geleng kepala dan mencari-cari betadine di kotak obat. Sejurus kemudian, tangannya menyodorkan botol mungil berwarna kuning. Penuh rasa terima kasih, saya buka tutup botol itu sambil bersiap menotolkan isi botol ke luka. Sampai kemudian dia merebut botol kuning itu seraya tertawa terbahak. Tawanya belum berhenti saat dia mengucap, “ngapain luka baret gitu kamu kasih lem fox”. Sampai kemudian dia menunjukkan botol kuning yang tadi saya pegang. LEM FOX. Begitu tulisannya. Ahahaha. Dasar jahil bin usil! Ternyata sore itu saya sukses kena jebakan betmen a la papachan.
------------------------------------------------
BRRR. Hari ini mendung. Bukan hari yang mujarab untuk menyantap es krim atau sekedar jalan-jalan keliling kompleks. Tapi papachan justru ingin mengukur jalan sambil menjilat-jilat es krim Walls. Jadilah. Sore ini kami jalan-jalan secara harfiah. Sesekali tangannya diam-diam menunjuk ke obyek yang diceritakan. Tempat main bola juga kali tempat bersemayamnya para algojo saat hari pembantaian para kambing. Puas menunjuk ini-itu di luar, tangannya sekarang mulai memilah keping dvd mana yang harus saya tonton. 'The Sorcerer’s Apprentice'. Sudah ia tonton, tapi saya belum. Aha, rupanya kali ini ia mengalah. Terharu. Jadi ingat bagaimana kemarin malam ia memeluk saya erat. Yes, dear, I love you too.
------------------------------------------------
ALARM. Satu, dua, ah tidak, lima bunyi bersahutan. Tak ada yang bangun karena memang sudah bangun beberapa menit sebelum alarm berbunyi. Kali ini, kami menang melawan alarm! Oke, apologia. Papachan yang lebih dulu bangun. Hampir pukul tiga dini hari. Sampai kemudian kami menjalankan ritual dini hari. Lalu? Tidur lagi! Hahaha. Siangnya saya sibuk menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah. Dari balik meja teller, si tante tersenyum meneropong kartu tanda pengenal saya. Ah, mestinya cukup berjabat tangan saja kalau mau kenalan. Jadi tak perlu ada masa kadaluwarsa. Kartu pengenal saya sudah hampir dua bulan habis masa aktif, mungkin sudah masuk masa tenggang. Dua jam selanjutnya sibuk memanjakan kaki. Demi membuatnya lebih kokoh: mengitari empat lantai sebuah mall. Alasannya satu, ingin memuaskan dahaga papachan menonton 'Harry Potter 7'. Belum terlambat, tapi paling tidak ngidamnya kesampaian. Tak akan ada bocah ileran.
------------------------------------------------

GANJIL. Tuhan menyukai bilangan ganjil. Langit berlapis tujuh. Bahkan Ia menyelesaikan dunia di hari ketujuh. Mungkin cuma soal kepemilikan suami atau istri saja dimana angka tujuh dilarang. Eh tapi kalau soal selingkuhan, boleh tidak ya? Ah, lupakan perkara selingkuhan. Inilah hari ketujuh. Maaf, tak akan kau temukan kata perpisahan di sini. Goodbye? No. Welcome? Yes! Selamat datang Desember. Selamat datang, rindu.
jakarta. duaenam november-dua desember duaribusepuluh.