Jika Anda yang bukan warga Cirebon lewat di Jalan Pulasaren, barangkali Anda tak akan menyangka sedang melewati sebuah keraton bernama Kacirebonan.
Dikelilingi tembok putih yang lusuh setinggi sekitar 1,5 meter, bangunan bernama Keraton Kacirebonan terlihat kusam dan tak terawat. Bangunannya memang bukan bangunan kuno ala keraton raja-raja Jawa, tetapi bangunan Eropa ala arsitektur Belanda.
Itu hanyalah sedikit gambaran tentang satu diantara empat keraton yang dimiliki Kota Cirebon. Ketiga keraton tersebut adalah Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabonan.
Ciri keraton di Cirebon sangatlah jelas. Ciri pertama, bangunan keraton selalu menghadap ke utara. Di sebelah timur keraton selalu ada masjid, dan selalu ada alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar. Di taman pun selalu ada patung macan sebagai perlambang dari Prabu Siliwangi, tokoh sentral terbentuknya Cirebon.
Satu lagi yang menjadi ciri utama adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Keraton Kacirebonan juga menghadap ke utara. Namun, masjid sebagai simbol ketaatan penghuni keraton pada agama Islam tak terlihat menjadi bagian dari keraton itu sendiri. Masjidnya kecil dan nyaris tak terawat. Alun-alun pun hanya berupa hamparan tanah merah yang tak jelas fungsinya.
Yang mengagetkan, aset-aset Keraton Kacirebonan banyak yang sudah tak jelas nasibnya. Kursi-kursi tua yang sangat khas malah teronggok tak berdaya di sebuah sudut kamar yang rupanya bekas kamar mandi umum untuk wisatawan. Satu benda bersejarah yang berumur sekitar 100 tahun dan masih terpelihara dengan rapih adalah kursi pelaminan yang biasa dipakai para sultan. Patung macan sebagai perlambang Prabu Siliwangi malah hampir-hampir tak terlihat karena tak terawat dan tertutup semak-semak.
Bangunan keraton yang dulunya megah kini terbengkalai. Keraton yang semestinya menjadi aset Kota Cirebon justru terlupakan keberadaannya. Pihak Keraton pun kadang merasa dianaktirikan gara-gara minimnya anggaran pemerintah bagi Keraton.
Menurut Guru Besar Sosiologi Cirebon, Prof. Dr. H. Abdullah Ali M.A, hal ini terjadi akibat hubungan antara pihak keraton dan pemerintah kota (Pemkot) yang kurang harmonis.
"Sekarang ini yang terlihat pihak keraton dan Pemkot seperti berebut kekuasaan. Masing-masing merasa lebih memiliki, lebih berwenang dalam mengelola aset Cirebon. Tapi nyatanya justru banyak aset yang terbengkalai akibat arogansi kedua pihak," tegasnya.
Selain itu, seringnya terjadi konflik internal keraton pun makin membuat kondisi Keraton kurang kondusif. Hubungan antara keraton dan Pemkot tidak harmonis, kinerja Keraton untuk melaksanakan tugas kepada masyarakat pun terhambat. Disharmoni hubungan ini pun terlihat dari ketidaksingkronan antara pemerintahan kota dan pemerintahan ala keraton.
"Ini sangat berbeda dengan keraton di Yogyakarta maupun di Solo. Di sana, keraton bertindak sebagai warisan budaya sekaligus pengabdi masyarakat dalam tatanan administrasi kenegaraan," jelasnya.
Satu-satunya cara yang dianggap paling efektif, tambah Abdullah, yakni secepat mungkin memperbaiki hubungan antara Pemkot dan Keraton. Menurutnya, harus ada 'jembatan' yang bisa menghubungkan kebutuhan Keraton dan keinginan Pemkot.
"Pemerintah, dalam hal ini Wali Kota Cirebon, harus jemput bola dalam menyambung rasa dengan Keraton. Pemerintah harus mau berinisiatif membina hubungan yang sinergis dengan Keraton. Keraton kan sifatnya lebih tradisional, lebih feodal, makanya pemerintah harus mau bergerak duluan," ujarnya.
Jika ketidakharmonisan ini terus terjadi, bisa dipastikan Keraton hanya akan berupa bangunan kosong tanpa ruh. Padahal, jika dapat ditangani secara profesional, Keraton di Cirebon dapat menjadi aset pariwisata yang menjual sekaligus sebagai aset pendidikan sejarah.
*Dimuat di SK Mitra Dialog, 24 Januari 2009
No comments:
Post a Comment