Monday, 13 December 2010

Tunggu Padang Mahsyarmu!

Bagi anak-anak kampung yang mengenal budaya madrasah, mungkin sudah khatam dengan berbagai petuah filsuf-agamis bijak. Mengapa saya katakan filsuf? Karena bagi saya (yang saat itu masih luar biasa naïve), kadang petuah-petuah itu disampaikan dengan gaya yang sok misterius, lengkap dengan alasan super njlimet berbasis Qur’an dan Hadist juga perilaku Nabi dan Rasul. Tanpa penjelasan yang lebih kekinian juga ilmiah. Biasanya tentang hal-hal kecil, yang mungkin sangat simple, sehingga kadang kita terima begitu saja. Misalnya:

“Saat kau melakukan sesuatu dengan tangan kananmu, jangan sampai tangan satunya lagi mengetahuinya.”
 “Jika kau berbuat buruk, mohon ampun dan rahasiakan hal itu. Jika kau berbuat baik, bersyukurlah dan rahasiakan juga hal itu.”

 Waktu itu, bagi saya yang masih super-duper-imut (sumpah ane zuzur!), pelajaran-pelajaran tersebut diterima dan disimpan dalam lapisan korteks otak besar. Tapi kemudian, setelah dipikir-pikir, pelajaran tersebut bukan semata-mata karena memang begitu adanya saat diperintahkan Tuhan lewat tangan kanannya, Sang Jibril. Tapi juga bisa dijelaskan secara logika, dengan rasa dan karsa manusia yang berbatas.

Sebutlah pelajaran pertama: Saat kau melakukan sesuatu dengan tangan kananmu, jangan sampai tangan satunya lagi mengetahuinya. Jelas hal ini menyuruh kita agar menyembunyikan apa yang dilakukan tangan kanan kita, dari tangan satunya lagi, si tangan kiri. Tapi kenapa?

Sejak berabad-abad, kata “kanan” diidentikkan dengan hal-hal positif. Tangan kanan: orang kepercayaan. Sedari kecil pun, kita diajari untuk melakukan sesuatu dengan tangan kanan. Tak jarang para orangtua akan membujuk balita mereka dengan ucapan: “ayo, mana tangan bagusnya?” ,“makan harus pakai tangan kanan ya”, dsb. Bahkan gerakan salam dalam sholat pun dimulai dengan menoleh ke arah kanan, bukan kiri. Sehingga, makna atas apa yang dilakukan tangan kanan menjadi makna konotasi yang merujuk pada perbuatan-perbuatan kebaikan. Contohnya? Bisa menyantuni anak yatim, memberikan sodaqoh, membantu kawan yang jatuh untuk berdiri, atau hal-hal baik lainnya. Tapi mengapa sebuah kebaikan harus disembunyikan?

Ingat, kebaikan yang dilakukan si tangan baik harus dirahasiakan dari si tangan kiri. Kiri. Sudah sejak lama pula tangan kiri dimaknai negatif. Tak jarang, orang-orang akan mengerenyitkan alis saat melihat para kidal; mereka yang beraktivitas dengan menggunakan tangan kiri. Orang yang makan menggunakan tangan kiri akan dicap tak sopan. Karena tangan itu pula yang digunakan untuk ber-thaharah alias membersihkan diri saat BAB atau melakukan pekerjaan kotor lainnya! Dalam lingkup politik dan pemerintahan juga dikenal aliran kiri. Yang tentunya bukan sebagai aliran yang berada pada lajur yang dipercayai benar, lajur  yang dibentuk oleh kaum mainstream.

Lalu apa hubungannya antara kebaikan, tangan kanan, tangan kiri, dan sebuah rahasia?

Bisa jadi, pelajaran pertama itu mengandung kisah. Agar setiap kebaikan yang kita lakukan, tak perlu harus diketahui oleh yang lain. Kita menamainya dengan sebutan ikhlas, juga tanpa pamrih. Tujuannya mungkin untuk menjaga beningnya hati, agar tak dicemari hasrat ingin dipuji. Apalagi sudah kodrat manusia untuk selalu memamerkan apa-apa yang dia lakukan. Ini dorongan hasrat manusia untuk dihargai, diakui keberadaannya, sekaligus untuk berbagi informasi. Abraham Maslow mencatatnya sebagai kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri. Bahasa gaulnya: Narsis dan pengen Eksis!

Sedangkan pada pelajaran kedua tertera, apapun yang kau lakukan, baik itu buruk atau baik, simpan bagi dirimu sendiri. Sekali lagi, rahasiakan dari yang lain. Untuk perbuatan buruk tentu jelas alasannya: agar hanya kau dan Tuhanmu yang tahu perbuatan burukmu juga tobatmu. Di masyarakat sosial, kerahasiaan ini membuat status sosialmu akan tetap bernilai netral atau bahkan menjadi positif. Tapi bagaimana dengan perbuatan baik? Bukankah sebuah kebaikan itu harus ditularkan, agar nantinya menjelma sebagai kebaikan massif? Tentunya kita akan bangga dan berpuas diri jika bisa mengajak bahkan menjadi contoh bagi kebaikan orang lain. Upps, rupanya inilah alasannya: rasa bangga dan berpuas diri. Dalam bahasa lainnya disebut sebagai takabur alias sombong. Apa untungnya jika bisa mencontohkan tapi justru mempraktekkan nila setitik rusak susu sebelanga akibat muncul sepercik takabur?

Maka sekali lagi, inilah pentingnya berahasia. Sebagai tindakan preventif demi menghindari segala kejahatan hati yang mungkin menyeruak saat kebaikan ditonjolkan. Orang bilang, ikhlas itu susah. Tak heran jika sang rocker sampai berkelana mencari ilmu ikhlas (meski saat itu penyemangatnya adalah iming-iming secarik restu). Apalagi hati layaknya sebuah tisu tipis. Mudah menyerap apapun sekaligus mudah rusak. Begitu pentingnya menjaga hati, sampai-sampai dai (yang dulunya) kondang mencatatnya dalam sebait lirik: jagalah hati, jangan kau kotori.

Tapi bagaimana jika hati sudah terlampau dikotori segala takabur, pamrih, iri, juga dengki? Apa jadinya jika si tisu tipis itu telah diwarnai tinta-tinta kelam, bahkan sobek di beberapa sisinya? Untunglah, Tuhan di segala kepercayaan selalu mempunyai sabar tak terhingga, dan stok memaafkan yang tak terbatas. Dunia fana kita mengenalnya sebagai laku taubat. Jika masih enggan?

Maka: tunggulah Padang Mahsyarmu!

Sempurna dan Ketidaksempurnaan

No body’s perfect. Tak ada manusia yang sempurna. Tentunya, kau tak perlu menghitung Muhammad SAW. Karena dalam kepercayaan yang saya anut, mungkin beliaulah manusia paling sempurna. Pribadinya maksum, alias dijaga dari segala tindak tercela. Manusia yang saya maksud adalah kita. Ya, kita. Terdiri atas saya, Anda, juga mereka. Tapi apa hubungannya antara kita, manusia, dan kesempurnaan (atau mungkin ketidaksempurnaan)?

Hubungannya, karena manusia dilahirkan untuk tidak sempurna. Lalu mengapa Tuhan membentuk kita yang tidak sempurna ini? Dan saya pikir, mungkin saja alasannya demi menunjukkan kesempurnaan itu sendiri. Untuk menunjukkan bahwa hanya Dia satu-satunya yang Maha Sempurna. Sama halnya bahwa ketika kita sakit, kita baru bisa menikmati seperti apa nikmatnya sehat. Saat kita menyadari diri kita tidak sempurna, maka kita akan terpacu untuk memaknai kesempurnaan itu, bahkan mungkin berusaha meraihnya. Mesti persentasinya mendekati 0% (ingat, bagi saya, tidak pernah ada manusia yang sempurna), tapi tak ada salahnya bukan untuk berangan-angan? Toh kita hidup dari mimpi dan harapan.

Klausa bahwa tak ada manusia yang sempurna membuat saya mencoba untuk memaklumi diri dan lingkungan.  Saat saya masih belum bisa sepenuhnya sabar, saya mencoba untuk paham. Inilah manusia, sabar ada batasnya. Saat kita lupa, kembali saya coba untuk mengerti: manusia tak luput dari khilaf dan alpa. Itulah mengapa kita dibekali kemampuan menulis, membaca, mendengar, dan berbicara. Untuk mencatat apa yang harus kita ingat dan membaca catatan kita tersebut. Juga untuk mendengar apa-apa yang harus kita ingat, sekaligus mengucapkan apa yang telah diingat sebagai bukti bahwa kita berhasil mengingat.

Ah, rasanya makin lama tulisan ini makin ngelantur kemana-mana. Eh tapi, bukankah saya juga manusia? Hehe.

PS: Tulisan ini dibuat di tengah kondisi mencoba sabar, karena lagi-lagi, tiba-tiba speedy mati begitu saja. Seperti lagu Tenda Biru-nya Desi Ratnasari: tanpa undangan, tanpa putusan.  Sekaligus mencoba memahami, bahwa tak ada yang sempurna, termasuk juga Tuan Speedy ini (yang kemudian usaha ini gagal total dengan suksesnya). Dengan kata lain, ini adalah salah satu bentuk produk labil nan gagal yang sungguh jauh dari kesempurnaan, bahkan lebih dekat pada insting dasar manusia: ngambek!
PS (lagi): Setelah 24jam lebih, akhirnya, si speedy nyala. Semoga kali ini si speedy gak labil!

jatinangor.

Thursday, 2 December 2010

Pupuh Tagyana

PERTAMA. Ini kali pertama saya bersolo karir menempuh jarak Jatinangor-Jakarta, demi memenuhi permintaan seorang pria dengan lesung di pipi kanan. Pria yang saya sebut papachan—beberapa yang lain menyamakannya dengan pacar. Dan ternyata, mitos tentang kemacetan di ibukota tak sebatas isapan jempol belaka. Empat jam lebih dipanggang dalam bus (yang katanya) ber-AC. Terhadang macet berkali-kali. Tak berkutik, hanya bisa memeras keringat karena mesin AC mogok. Mungkin protes gara-gara kita—manusia—masih saja betah mencungkil ozon di atas sana. Ah lupakan perkara macet! Toh pepatah bilang, Jakarta tanpa macet ibarat sup lodeh tanpa santan. Malam pertama kedatangan saya disambut senyumnya, yang dipaksakan, untuk menghalau dinginnya air hujan. Rupanya sang papachan bergerimis ria. Dan saya hanya mampu mencium tangannya. Lalu mengukir sebentuk senyum sambil mengusap pipi gembilnya. Semoga saja luapan rasa terimakasih saya telah tersalurkan lewat pelukan ringan pada perut buncitnya di sepanjang perjalanan pertama saya naik motor di Jakarta *norak mode: ON.
-----------------------------------------------
GERAH. Tak cuma udara, tapi juga karena janji. Janji seekor kucing peranakan Cina yang ingin bertandang. Entah karena ia ingin mengeong atau justru mencakar. Oh ya, kucing ini kucing gaul. Hobinya menarik pelatuk senjata api. Ini pertama kalinya saya melihat kucing keturunan Cina yang senang tembak-tembakan. Tapi saya dengar kali ini ia mengidam batu, tepatnya melempar batu. Dan siang ini, jelaslah bahwa tak akan ada anak yang lahir dengan eces di sudut bibir. Dan di bawah dipan di lantai dua, tergeletak batu mungil yang duduk manis di sana. Segera saja, si kucing gaul ribut mengeong dan melesat naik kursi bulat berwarna tembaga di balkon. Meong. Meong. Meong. Mungkin masih menyimpan kesumat. Semalam ia hampir diangkut punggawa yang patroli. Subversif, katanya. Naaa, itulah akibatnya kalau nekat mendekati markas pusat di penghujung malam. Perlahan tapi pasti, batang rokok mulai terbakar di mulutnya, sambil sesekali rambut poni miring-selamat datang nya dirapihkan. Sampai kemudian langit sore menjelang, lengkap dengan aksesoris awan gelap. Dan si kucing bergelung nyaman di bawah kaki saya, berkutat dengan bantal-guling serta (lagi-lagi) poni-miring-selamat datang nya. Sesekali matanya yang hanya segaris melebar disertai erangan a la kucing garong. Maklum, kotak elektronik di hadapannya menyuguhkan ikan betina nan sekal dan rupawan. Dan kali ini ini, sang papachan seiya-sekata (eh, semeong maksudnya) dengan si kucing.
------------------------------------------------
MAMPET. Sudah hari kesekian, dan hidung kanan saya masih tetap setia dengan sensasi mampet yang ruar binasa. Tapi ini pagi pertama yang saya habiskan dengan menghabiskan sarapan racikan papachan. Wow! Pagi ini saya punya koki pribadi. Ahaha. Sarapannya sederhana. Tapi mengingat siapa yang sudah repot-repot bermain di dapur demi sebuah sarapan yang biasa-biasa saja, justru membuatnya tak lagi sesederhana kelihatannya. Apalagi, kita dibesarkan dalam sebuah budaya yang masih menganggap dapur bukan sebagai tempat alami bagi makhluk berjakun. Sarapan selesai, dan kami beranjak ke tempat nenek. Empat hari kemudian, baru diceritakan olehnya kalau saya-lah perempuannya yang pertama dikenalkan pada nenek. Tambahan lagi, pertama dikenalkan sebagai orang yang diambilnya dari jalan. Wahaha. Cara memperkenalkan yang unik. Sangat khas a la papachan.
------------------------------------------------
HOAX. Ah, dasar SuPervert! Padahal sudah berbulan-bulan chatting, lengkap dengan segala curhatan dan ejekan, tapi masih saja dia tega menyebut saya tak benar-benar nyata. Wahaha. Komedimu menyebalkan sekali, Ki Sanak. Apalagi kemudian dia mengucap hal yang dulu juga pernah terlontar dari bibir si penyuka-gadis-super-muda. Mungkin lain kali, saya memang harus menyamarkan pipi gembil di setiap foto. Ah ya, pria jangkung yang terdengar manis dengan logat cadelnya jangan sampai terlewat. Dia: si pemberi kultum tentang Chaerudim, juga tentang dua lainnya yang nomor seri-nya sudah terbang dari ingatan sejak saya melewati pintu kaca. Hehehe. Hmm, ingatan saya tentang angka memang tak pernah jadi brilian. Tapi sungguh, lekuk kelima action figure miliknya masih saja terbayang. Menggoda. Godaan yang bagi saya cukup sebanding dengan hasrat untuk menggaruk luka di betis kiri. Luka yang ajaib. Muncul tiba-tiba setelah bangun tidur, seperti jaelangkung. Saat mengadukan segaris luka, lelaki saya hanya geleng-geleng kepala dan mencari-cari betadine di kotak obat. Sejurus kemudian, tangannya menyodorkan botol mungil berwarna kuning. Penuh rasa terima kasih, saya buka tutup botol itu sambil bersiap menotolkan isi botol ke luka. Sampai kemudian dia merebut botol kuning itu seraya tertawa terbahak. Tawanya belum berhenti saat dia mengucap, “ngapain luka baret gitu kamu kasih lem fox”. Sampai kemudian dia menunjukkan botol kuning yang tadi saya pegang. LEM FOX. Begitu tulisannya. Ahahaha. Dasar jahil bin usil! Ternyata sore itu saya sukses kena jebakan betmen a la papachan.
------------------------------------------------
BRRR. Hari ini mendung. Bukan hari yang mujarab untuk menyantap es krim atau sekedar jalan-jalan keliling kompleks. Tapi papachan justru ingin mengukur jalan sambil menjilat-jilat es krim Walls. Jadilah. Sore ini kami jalan-jalan secara harfiah. Sesekali tangannya diam-diam menunjuk ke obyek yang diceritakan. Tempat main bola juga kali tempat bersemayamnya para algojo saat hari pembantaian para kambing. Puas menunjuk ini-itu di luar, tangannya sekarang mulai memilah keping dvd mana yang harus saya tonton. 'The Sorcerer’s Apprentice'. Sudah ia tonton, tapi saya belum. Aha, rupanya kali ini ia mengalah. Terharu. Jadi ingat bagaimana kemarin malam ia memeluk saya erat. Yes, dear, I love you too.
------------------------------------------------
ALARM. Satu, dua, ah tidak, lima bunyi bersahutan. Tak ada yang bangun karena memang sudah bangun beberapa menit sebelum alarm berbunyi. Kali ini, kami menang melawan alarm! Oke, apologia. Papachan yang lebih dulu bangun. Hampir pukul tiga dini hari. Sampai kemudian kami menjalankan ritual dini hari. Lalu? Tidur lagi! Hahaha. Siangnya saya sibuk menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah. Dari balik meja teller, si tante tersenyum meneropong kartu tanda pengenal saya. Ah, mestinya cukup berjabat tangan saja kalau mau kenalan. Jadi tak perlu ada masa kadaluwarsa. Kartu pengenal saya sudah hampir dua bulan habis masa aktif, mungkin sudah masuk masa tenggang. Dua jam selanjutnya sibuk memanjakan kaki. Demi membuatnya lebih kokoh: mengitari empat lantai sebuah mall. Alasannya satu, ingin memuaskan dahaga papachan menonton 'Harry Potter 7'. Belum terlambat, tapi paling tidak ngidamnya kesampaian. Tak akan ada bocah ileran.
------------------------------------------------

GANJIL. Tuhan menyukai bilangan ganjil. Langit berlapis tujuh. Bahkan Ia menyelesaikan dunia di hari ketujuh. Mungkin cuma soal kepemilikan suami atau istri saja dimana angka tujuh dilarang. Eh tapi kalau soal selingkuhan, boleh tidak ya? Ah, lupakan perkara selingkuhan. Inilah hari ketujuh. Maaf, tak akan kau temukan kata perpisahan di sini. Goodbye? No. Welcome? Yes! Selamat datang Desember. Selamat datang, rindu.
jakarta. duaenam november-dua desember duaribusepuluh.

Thursday, 29 April 2010

Vote For Dokter Pria!

dokter cowo, apalagi yg manis dan enak diliat ternyata jauh lebih enak daripada dokter cewe. walaupun si dokter cewe itu masuk kategori cewe yg manis juga, plus ramah. kenapa saya membuat kesimpulan ini? semuanya diawali dan diakhiri dari cerita saya medical check up di sebuah lab. klinik yg lumayan terkemuka di kota Cirebon ini.

jadi, ceritanya, hari ini akhirnya jadi juga saya medical check-up ke Lab. Klinik Pra**ta. setelah kemaren gagal, gara-gara ngiler sama si gembul. bayangin aja, dia telpon subuh-subuh, dan dengan senangnya makan ayam ma daun-daunan laksana seekor kambing, trus dikecap-kecap gitu. selamat loh sayang, kamu berhasil bikin saya ngiler dan langsung ngebatalin puasa hari itu. >,<

dan yaahh,, begitulah, setelah Lab. nya mengalami padam listrik beberapa menit, akhirnya saya dipanggil juga buat masuk ruang periksa. tahap pertama: cek darah dan urine.

"dari jam berapa puasanya? coba tolong digulung lengan bajunya ya.. trus tangannya dikepalkan."
"saya terakhir makan-minum tadi malem jam 11, dok. "


tanpa ba-bi-bu, si dokter megang siku kiri saya, trus dia taro di atas bantal kecil berwarna merah berbentuk hati. meraba-raba sebentar, dan, "cuss", sebatang jarum masuk ke nadi saya. setelah si dokter puas ngambil sample darah, dia nutup bekas suntik pake hansaplast. sayang, gak ada hansaplast yg motif kupu-kupu. --a

anyway, disuntik itu pedih ternyata rasanya. SIAPA SIH DULU YANG BILANG KALO DISUNTIK ITU RASANYA KAYA DIGIGIT SEMUT? SINI, BIAR NANTI SAYA GETOK KEPALANYA. >,<

"nah, abis ini kamu kasih sample urine, trus langsung ke bagian rontgen ya. kalo udah selesai, kamu makan, trus puasa lagi 2 jam. selama dua jam cuma boleh minum air putih ya. nanti tepat 2 jam harus udah duduk lagi disini, buat diambil lagi sample glukosa puasanya."

dan saya cuma bisa angguk-angguk sambil meringis megang hansaplast di tangan kiri.

1 jam 58 menit setelah selesai makan kemudian, sambil setengah berlari saya masuk ke ruangan yang sama. ehh, si dokter yang tadi cuma nengok ke arah saya, diam, dan berkata: "ada apa, mba?"

WHAT?!

padahal tadi dia yg nyuruh tepat 2 jam harus udah duduk di kursi yg itu. ternyata dokter juga manusia ya, buktinya masih gampang lupa-lupa ingat. ckckck.

nah,,kalo tadi si dokter cowo, kali ini giliran dokter cewe yg meraba-raba tangan kanan saya. prosesnya sama, tapi kali ini rasanya lebih perih. apa karena faktor yg ambil darah pertama itu dokter cowo yg manis ya? hihihi.
dan proses yg kedua ini punya ending yg sama. tangan kanan saya ditempeli hansaplast bundar, yg sayangnya tetap enggak bermotif kupu-kupu.

nahh,, sekarang, dua tangan saya dihiasi dengan hansaplast transparan bundar yg sangat tidak menarik dan menggairahkan. tapi eh tapi,, kenapa lama-lama si tangan kanan rasanya sakit ya? ternyataaa..setelah diteliti, diamati, dan diraba dengan seksama dan dalam waktu yg tidak singkat, si bekas suntiknya jadi bengkak. SH*T!!

padahal bekas suntik di tangan kiri, yg disuntik sama si dokter cowo itu sama sekali enggak bengkak. tapi kenapa yg di tangan kanan malah bengkak, dan pedih kalo saya menekuk tangan? arrghh.. ternyata memang lebih enak sama si dokter cowo daripada dokter cewe. >,<


cirebon.

Tuesday, 27 April 2010

Boleh Minta Sirup Aja, Dok? Tolong?

Dari kecil, saya itu jarang sakit.. Yahh, paling banter cuma pilek, batuk, panas..yg obatnya cuma tidur *sigh*

Tapi sejak hasil check lab keluar 2 tahun lalu..mau gak mau saya harus membiasakan diri dengan pil-pil pahit yang enggak pernah bisa saya telen dari dulu...
Hikss..iyahhh...
Saya tuh enggak bisa minum obat..
Dulu pun, kalo dikasih obat tablet ataw pil..gak pernah saya minum..selalu saya buang.
Dulu sih pernah nyoba..mulai dari pake pisang, roti, sampe aer putih.
Anehnya, segala macem temen-makan-obat itu bisa ketelen, tapi enggak dengan obatnya. Hahaha.

Dan tadi siang, lagi-lagi saya harus terima selembar resep obat dari si dokter
Dan saya cuma bisa tersenyum manis sambil bilang:

"Enggak ada resep yg pake sirup aja ya, Dok? Saya gak bisa minum obat nih dok.."
dan sialnya,,dokter itu selalu saja menjawab:
"Win, seumuran kamu mana ada obat yg bentuknya sirup. Itu buat adik kamu, lagian adik kamu aja kalo sakit kadang minum tablet koq. Kalo masih gak bisa, kamu buka aja cangkang kapsulnya ato kamu gerus tu tabletnya. Campur pake teh manis atau madu. Oke?"


dan saya cuma bisa cengar-cengir, sambil mengumpat dalam hati: SIALLLL


cirebon.

Saturday, 20 March 2010

.sempurna di hari ke tujuh.

Dua tahun, tapi baru sekarang dia memimpikan aku.
Dua tahun, tapi baru sekarang dia berjanji untuk menyiapkan diri menjadi imamku.
Dua tahun, tapi baru sekarang dia nyatakan kesungguhannya padaku.

Tahun lalu, dia suruh aku untuk meninggalkannya
"Lebih baik kau dengannya saja, yang sudah jelas. Daripada denganku yang belum tahu ke depannya mau bagaimana."
Begitu ucapnya saat ada pria lain yang mengajakku menjadi raja dan ratu sehari.
Meski terpukul dengan ucapannya, apakah aku meninggalkannya saat itu?
Tidak!
Meski bimbang dibuatnya, apakah aku meninggalkannya saat itu?
Sekali lagi, Tidak!
Karena aku masih mau menaruh harapan padanya.

Aku memang pernah sekali meninggalkannya sejenak, untuk kemudian kembali padanya.

Tapi kali ini, dia yang berkehendak mengakhiri cerita.
Lengkap dengan ucapan: Tak akan pernah memulai kembali cerita denganku!

Salahkah aku jika kemudian memulai cerita baru, tanpanya?
Salahkah aku jika kemudian memulai cerita baru dengan pemeran baru yang sanggup menjadi imamku?

Dan kemudian dia kembali hadir dengan segala penyesalan.
Penyesalan atas keputusan yang dibumbui prasangka dan emosi.
Penyesalan atas ucapan saat amarah berkuasa.
"Tinggalkan dia dan kembalilah padaku! Kuberi kau sepekan untuk mengakhiri ceritamu dengannya. Aku menyesal dengan keputusanku. Bukankah ucapan masih bisa diralat?"
Begitu permintaanmu saat tahu ada pemeran baru di dalam cerita.
Tapi tak semudah itu menjilat kembali keputusan yang sudah terucap.
Dan tak akan melepaskan sang pemeran baru.

Tuhan menciptakan dunia dalam enam hari, dan menyempurnakannya di hari ke tujuh.
Di hari ke tujuh ini pula, aku menyempurnakan (kembali) keputusanku.

semoga lekas sembuh

Friday, 1 January 2010

24:12

aku tahu
di sudut ini siapapun
pernah menyimpan cerita


aku mulai berkemas
seraya mengeja langit di atas kota ini
berharap dapat mendengar denting pelan yang selalu jadi tanda kehadirannya
ada gairah tersisa pada setiap tetes hujan
seakan setiap rintiknya menyimpan sejumput kenangan tentang sudut itu
menciumi jalanan yang basah
dan rerumputan yang menggigil
kini bayangan hari mulai berlarian di balik gelas-gelas tinggi
; yang disajikan para pelayan
tangan-tangan mulai melambai
tak jelas untuk siapa
atau mengapa
mungkin, karena satu diantara kita
takkan pernah kembali ke sudut itu untuk sekedar menyapa
lalu siapa nanti yang dapat kupeluk di sini?
setiap menit para urban berebut menjejali sudut itu
mungkin dengan alasan yang sama mengapa kita pernah di situ
malam perlahan datang
aku kembali berkemas
di pipiku masih tertinggal kecupanmu

selamat tahun baru, semoga tahun baru membawa perubahan berarti bagi kita semua. karena melepaskan bukan berarti melupakan, dan bukan akhir dari segalanya