Wednesday, 25 February 2009

Muludan, Dicari Wisatawan


Sudah hampir seminggu, Kota Cirebon diramaikan dengan acara Muludan. Sejak Rabu (18/2), ratusan pedagang sudah memadati lokasi Muludan di Alun-alun Keraton Kesepuhan. Beragam jenis kebutuhan dijajakan. Mulai dari makanan, peralatan makan, pakaian, mainan hingga boneka. Harga yang ditawarkan pun sangat bersaing. 

Misalnya untuk membawa sebuah boneka berukuran kecil, kita cukup merogoh uang sebesar Rp 5-10 ribu. Itupun masih bisa ditawar lho. Sedikit bocoran, saat saya jalan-jalan ke Muludan, Selasa (24/2) siang, boneka lucu berbentuk tokoh kartun Spongebob Squarepants ukuran sedang bisa dibawa pulang setelah menawar dengan harga Rp 25 ribu saja.

Rupanya, tak hanya pengunjung lokal yang tertarik dengan Muludan. Diantara sekian banyak pengunjung siang itu, perhatian saya langsung tertuju pada sosok pria yang sedang asyik memotret pajangan boneka. Tingginya sekitar 175 cm, dengan tas hitam disampirkan di pundak. Tom, pria asal Meulborne, Australia ini asyik memotret boneka Spongebob Squarepants dari berbagai sudut. 

"I've come from Australia to do some jobs. I'm photographer," ucapnya.

Rupanya, Tom sudah 2 hari di Indonesia. Dari negara asalnya, ia bertolak menuju Jakarta. Selasa pagi, ia baru tiba di Cirebon. Menurutnya, ia sedang bertugas di Indonesia selama beberapa hari. Kebetulan, ia mendengar tentang keraton-keraton di Kota Cirebon.

"I'm very interesting with all the stuff about palace. I've heard that Cirebon has some palace. When I came this morning, I really get surprise with this event. You called it muludan, right?" jelas Tom sambil membidik boneka-boneka.

Kehadiran Tom di Muludan tak hanya menarik perhatian saya, tapi juga beberapa pedagang. Berkali-kali terdengar sapaan dalam bahasa Inggris kepada Tom. Mereka seakan berebut menawarkan barang dagangannya. Tapi orang yang dipanggil-panggil hanya bisa tersenyum seraya mengerutkan kening. Maklum, Tom tak piawai berbahasa Indonesia. Ia pun hanya mampu menjawab sapaan para pedagang dengan lambaian tangan.

"I'm tired, but feels happy too. This event are so unique. Hopefully, I can come again next time to take some photographs for my vacation," ujar Tom saat hendak berpisah dengan saya.

Saat berpisah, masih terdengar beberapa pedagang menyapa, "Hai Mister, come here, mister. Come here". Ya, mari ke mari, ke Muludan. Masih ada sekitar 12 hari lagi menuju puncak kegiatan Muludan. Kalau turis asing saja tertarik berkunjung ke Muludan, masa penduduk lokal Kota Cirebon masih enggan menyambangi Muludan? Malu donk.

*Dimuat di SK Mitra Dialog, Februari 2009 (lupa tanggal berapa, hihihi)

Sunday, 15 February 2009

Kalau Wartawan Bohong

Kalau wartawan bohong, apa jadinya ya?

Ini kejadiannya Rabu (11/2) siang, tepatnya di sebuah gedung Asrama Haji Watubelah, Sumber, Kab. Cirebon.

Hari itu, saya, Mba Dewi, ma Mas Andi jalan-jalan ke gedung itu..
Ceritanya ada liputan,, ada peringatan Harlah Muslimat NU ke-63. Kedua wartawan lagi pada getting. Mba Dewi liat-liat kondisi, Mas Andi asyik jeprat-jepret pake camdig-nya. Saya sih nonton ajah... kan ceritanya lagi magang..hahaha

Karena harus wawancara, saya ma Mba Dewi ke ketua acara dan ketua Muslimat NU-nya. Mas Andi still take some photographs. Dan kami bertiga pun misah jadi dua kelompok.

Biar cepet ceritanya, jadi,, ceritanya saya ma Mba Dewi ngobrol ngalor-ngidul ma si Ibu. Udah ngerasa cukup (cukup gak ngerti maksudnya..hehehe), kami berdua pun pamit.

Mba Dewi (DW) : "Makasih, Bu. Kami mau pamit dulu. Kebetulan sudah ditungguin sama wartawan yang satunya lagi di parkiran."
Si Ibu (SI) : "Lho, makan dulu kita rame-rame."
Saya (SY) : "Makasih banget lho, Bu. Tapi kami mohon pamit, kasian wartawannya udah nungguin dari tadi."
SI : Gak papa. Itu temennya panggil aja ke sini. Pokoknya harus makan dulu. Kata orang-orang tua, asal sedikit tapi harus cobain smua makanannya dulu." (Nadanya Si Ibu udah mulai agak maksa nih)

Saya ma Mba Dewi cuma saling pandang. Secara gituh yaaahh, sebelum ke tempat itu udah isi perut duluan di Warung Pa Leman.

Biar aman, Mba Dewi ijin pamit sekali lagi, dengan embel-embel alasan: "Makasih banget, Bu. Tapi maaf banget, kami udah makan, dan sekarang ada liputan lagi ke DPRD. Jam 1."
(Sambil nunjukin jam tangannya, yang udah nunjukkin pukul 13.10)

Si Ibu keliatan kecewa tapi akhirnya merelakan kami pergi tanpa mencoba masakan yang sudah disiapkan. Dan saya ma Mba Dewi pun keluar ruangan, segera memakai sepatu. Mba Dewi selesai duluan dan menuju ruangan aula, saya masih di depan pintu berusaha menggunakan kaos kaki. Si ibu menunggu di depan pintu juga, bareng satu ibu lainnya. Dan tiba-tiba Si Ibu mengajukan pertanyaan yang bikin saya gelagapan buat jawabnya.

SI : "Emang ada acara apa gitu di DPRD?"
SY : "Aduh, acaranya kalo gak salah rapat komisi gitu, Bu. Kebetulan tadi liat jadwalnya cuma sepintas, soalnya langsung ditugasin buru-buru kesini."
SI : "Ohh, Komisi apa gitu emangnya?"
SY : (mengerutkan kening, bingung mau jawab apa. Secaraaa,, sebenernya gak tau itu di DPRD ada liputan apa, komisi apa, rapat apa) "Bentar Bu, diinget-inget dulu. Kalo gak salah sih, Komisi B sama Komisi C deh bu. Soalnya saya baru sih Bu, belum apal ruangannya yang mana aja." (Sumpah, ini gak tau kenapa bisa terinspirasi jawab gini, mungkin ngitung kancing dari baju Si Ibu kali yah.. ^_^v)
Si Ibu lainnya : "Loh Mba, Bu Aam (Si Ibu yang kami wawancarai) ini kan Komisi B juga Mba... Tapi ada di sini koq, Mba"

Mampusss... saya cuma bisa nyengir... sambil ngebatin, ini Mba Dewi balik buruan ke sini..
Hahahaha

Untungnya Si Ibu terlihat mikir...
SI : "Kalo Komisi B sih hari ini enggak ada agenda deh kayaknya"
SY : "Oh, gitu ya Bu? Waduh, jangan-jangan saya salah liat jadwal nih, Bu. Soalnya tadi buru-buru"
SI : "Tapi emang hari ini kalo gak salah emang ada kunjungan gitu Mba, Komisi C ma D kalo gak salah yah"
SY : "Mungkin itu kali ya, Bu.. Duh maaf yah, Bu.. Gak lengkap saya liatnya.. Mungkin yang saya liat komisi D, malah keliatnya B.. Gak apa-apa deh ya, Bu, ya... Kan deketan hurufnya, agak-agak mirip. Hehehe..."

Setelah tertawa dengan lelucon garing saya itu, Mba Dewi sang penyelamat datang.. Akhirnyaaaahhhh...

Di motor, setelah saya ceritain insiden Komisi itu ke Mba Dewi ma Mas Andi,,
sambil ketawa Mba Dewi bilang, "Eh, Win, itu ternyata yang saya liat jadwal rapat minggu depan deh kalo gak salah.. bukan yang hari ini .. hahahaha"

Duh, mudah-mudahan aja Si Ibu-nya gak nyadar yah...
Amieennn

Ahahahahaha

Monday, 9 February 2009

Kalo Kata Caleg: "Insya Allah Khilaf!"

“Merdeka! Merdeka! Merdeka!”

Puluhan tangan terkepal di udara. Sekitar 50 orang bersahutan meneriakkan kata tersebut. Puluhan lainnya berkerumun di depan Gedung Serba Guna LPM Kecapi, Kec. Harjamukti, Minggu (9/2) siang.

Begitulah suasana dialog antara para caleg dan masyarakat di Kel. Kecapi, Kec. Harjamukti. Suasananya sungguh hangat, padahal di luar, hujan sudah mengguyur jalanan Kota Cirebon sejak acara dimulai pukul 9 pagi.

“Negara kita belum merdeka, terutama secara ekonomi dan kebudayaan! Maka, kita harus menyebarkan semangat untuk meraih kemerdekaan itu. Merdeka!”, ujar R. Rohadi lantang.

Pria berjas merah itu tak sendirian, di sampingnya ada empat orang yang siap berdialog dengan warga. Mereka adalah para caleg DPRD Kota Cirebon, yakni R. Panji Amiarsa (Partai Demokrat), Karsono SH (Partai Hanura), H. Kusnadi Nuried (PBB), dan Drs. Junizar Wisnadjaja (PPRN). Rohadi sendiri adalah caleg dari PDI Perjuangan.

Sedari pagi, mereka sudah bersemangat menanggapi beragam pertanyaan masyarakat seputar masalah politik dan kerakyatan. Tak mau kalah, warga pun antusias mengajukan pertanyaan dan opini politik mereka mengenai banyak hal, seperti pemberdayaan ekonomi kerakyatan serta rangkap jabatan bagi caleg. Misalnya Johanes. Ia menaruh perhatian pada konsep suara terbanyak bagi caleg yang disahkan Mahkamah Konstitusi (MK). Para caleg pun menanggapinya dengan jawaban yang berbeda-beda.


Money Politics
Rohadi menolak keras jika sistem suara terbanyak ini dikatakan bertentangan dengan hukum, karena menurutnya putusan ini sah melalui putusan judisial. Bertentangan, Karsono justru menganggap sistem ini mampu memicu terjadinya praktek money politics.

“Dengan sistem suara terbanyak, maka otomatis tujuannya untuk merangkul pemilih sebanyak mungkin. Cara termudahnya ya itu, lewat money politics,” jelas Karsono.

Ini pun menjadi bukti bahwa dalam urusan demokrasi pun, kita belum merdeka karena masih diperbudak uang. Kemungkinan lain, tambahnya, sistem ini berpotensi sebagai deparpolitisasi. Artinya, dikhawatirkan dapat melemahkan posisi partai politik (parpol).

“Parpol lambat laun berubah menjadi kendaraan bagi si caleg, yang mudah disewa. Dengan menggandeng parpol, caleg akan lebih mudah menghimpun suara. Parpol hanya akan menjadi alat. Ini kan sama aja seperti merentalkan parpol,” tegasnya.

Caleg lainnya, Panji, melihat fenomena suara terbanyak sebanyai sarana koreksi dan review bagi caleg. Menurutnya, konsep suara terbanyak bisa dimanfaatkan untuk mengukur sejauh mana kinerja maupun populeritas caleg di mata masyarakat.

Terkait masalah money politics, Rohadi memberikan sarannya. Dengan berseloroh, ia menyarankan masyarakat untuk menerima uang yang diberikan caleg. Namun ia menegaskan untuk jangan memilih caleg tersebut.

“Ambil uangnya, tapi jangan pilih orangnya. Itu untuk memberinya pelajaran agar kapok main money politics!,” ucapnya berapi-api.


Harus Janji Selalu Jujur
Di akhir sesi dialog, salah satu warga, Nurhasan, memberikan sebuah pertanyaan yang sontak membuat kelima caleg tersenyum.

“Sanggupkan para caleg untuk tidak berbohong?” tanyanya singkat.

Seraya tersenyum, Kusnadi menjawabnya secara diplomatis layaknya politikus sejati.

“Insya Allah tidak akan bohong. Kalaupun terpaksa, mudah-mudahan tidak merugikan masyarakat,” jawabnya, yang segera disambut riuh tepuk tangan warga.

Caleg lainnya pun tak jauh berbeda. Semuanya berjanji untuk tak berbohong, dengan prinsip yang tak jauh berbeda: terpaksa berbohong jika untuk kebenaran asal tak merugikan rakyat.

Kejujuran diakui sebagai mata uang yang paling laris di dunia. Ini pulalah yang dianggap Nurhasan harus dimiliki para caleg sebagai mentalitas dasar untuk mengabdi kepada rakyat. Tapi, sebagai manusia, tentunya kita pun kadang masih sulit menghindari kesalahan. Seperti Junizar.

“Maunya sih enggak akan bohong. Tapi kan manusia, Insya Allah khilaf.”

Tak butuh waktu lama, gelak tawa pun langsung membahana mengisi seisi gedung. Junizar pun buru-buru meralat perkataannya. Ah, namanya juga manusia, masih bisa khilaf. Bukan begitu?

Friday, 6 February 2009

Gemes Sama Temen

Ga, nih cerita yang tadi dijanjiin nih Ga
kejadiannya belom lama, Ga, Rabu (4/2).

Ceritanya, hari itu wny ma Nana pisah liputan karena sorenya wny rencana mu pulang, jadi mu siap-siap.. Ambil baju ke rumah satunya lagi dan beres-beres tas.

Nana bilang mau ngetik tulisan di rumah sekalian makan..
Deket-deket magrib dia baru dateng ke kantor buat transfer tulisan
(btw, kau sudah diceritain ma Nana kan, kalo di kantor pake MS-DOS, tanpa mouse dan apapun, selain monitor, keyboard, ma CPU? T___T)
jadi kalo transfer jadi mesti pake laptop, trus copy lewat LAN..

begitu dicolokin, tu flasdisk ternyata bervirus, dan otomatis, semua file yang bervirus langsung keapus...
termasuk file tulisan dia

dia bingung, wny juga...


dan terjadilah percakapan ini:


W: Na, filenya kena virus.. Keapus otomatis sama anti virusnya.. Kompi rumah berarti ada virusnya tuh...

N: Iya win, emang itu ada virusnya banyak.. trus gimana nih win?
W: Ya ampun sayaaangg,,, kalo tau ada virusnya kenapa gak ngetik di sini aja tadi? (pake ekspresi gemes pengen nyubit pipi. lol.). Ya udah deh, mending kamu ngetik lagi deh sekarang. Masih inget kan?
N: Duh, males tapi...gimana yah? Kalo gitu, Na pulang aja lagi ke rumah, ambil filenya lagi dari komputer, tar dicoba ditranfer lagi. Gimana win, kamu masi lama kan disini?
W: iyah, masi lama. Tapi kan Na, ini virusnya dari komputer kamu, kalo ngambil lagi ditransfer lagi, ya kaya gini lagi tar... duh, itu kompi pasang antivirus deh, dibersihin dulu buat besok-besok yah... Udah deh, ngetik lagi di sini aja
N: ya udah win, kalo gituh Na kirim lewat email aja gimana, tar kirim ke email kamu kalo kamu masih lama mah. Gimana?
W: ya udah,, *mikirnya: Nana bakal pulang, ngetik ulang di rental deket rumah--mengingat rental di Cirebon jarang ada antivirusnya--dy ubah format ke notepad yang lebih tahan virus trus kirim filenya lewat email* kalo udah kirim, langsung sms yah, biar bisa langsung dibuka
N: lha, ngapain sms, kirimnya juga dari warnet sebelah kantor koq, Win.
W: Nana, sayang, bageur, sholehah, ai kamu kumaha mu ngirim lewat imel dari warnet sebelah? kan file di flasdisknya uda keapus td ama antivirusnyaaahhh. kalo mau ngetik ulang mah disini aja atuh neng.. *mulai sangat gemassssss*
N: kan bisa win, buka disana, trus formatnya diubah, trus dikirim lagi?
W: iya na, bisa, tapi kalo filenya emang masi ada di flashdisknyah... tapi kan ini uda keapus-pus pussss *sudah ingin menangis karna gemasss*
N: oh, gitu ya, Win? Ya udah deh, Na coba aja dulu yah... *mulai gak nyambung...*

jam 18.50 WIB

Nana belom juga kirim kabar, email juga belom masuk... pas wny telp..

W: Na gimana? koq gak ada kabar? gimana jadi?

N: Na di rumah ni Win, gak bisa-bisa yah, file yang di komputernya dikirim lewat email. menolak mulu, gara-gara ada virusnya pas mau dikirim lewat warnet deket sini
W: ya iya atuh Na, kan udah dibilangin tadi.. satu-satunya cara ketik ulang dis ini ato di warnetnya sekalian. Ya udah, sekarang mah susah da.. berita mulai diambilin redaktur katanya jam 7. sekarang jam berapa coba na?
N: jam berapa yah? jam 7 kurang 10, Win. ya udah kalo gitu, Na sekarang berangkat ke kantor buat ngetik deh yah.. tungguin ya, wini belom mau pulang kan?
W: na, 10 menit lagih sayang... kantor ma rumah kan gak sebelahan ihh.. belom ngetiknya.. simpen buat besok aja beritanya... *ps: lokasi rumah Nana-kantor sekitar 15 menit kalo naek angkot *
N: kalo buat besok tar gak fresh lagi donk, Win..
W: kan bisa diupdate.. langsung kamu kembangin beritanya, ubah angle-nya ato tambah komentarnya siapa
N: ih, tar kan tanggal keterangan omongan narasumbernya kan hari ini, uda basi donk, Win...
W: duh, Na, kan besok yg ditulis keterangan tanggalnya ya cuma komentar update-an nya aja... komentar yg hari ini mah gak perlu ditulis waktunya. gituh lohh.. *posisi tangan kanan memegang hp, tangan kiri reflek memijat agak bertenaga (kalo bukan dibilang meremas.hyahaha) bahu seorang wartawan. lol*

setelah beberapa menit pembicaraan yang menanyakan hal yg itu-itu juga berakhir...


N: ya udah, Win,, kalo gitu, besok Na wawancara ulang lagi narasumbernya, trus langsung ketik di kantor, trus langsung caw ke Nangor aja kali yah?

W: Nah, itu Na.. Itu,, gituh aja, pinterr... *menangis bahagia*
N: ya udah deh win, makasih yah... kamu ati-ati yah berangkat ke Nangornya
W: iyah Na, sama-sama.. besok kalo ada apa-apa lagi, kamu sms aja ke wny yah Na

setelah memastikan jawaban "iyah" pembicaraan pun selesai...


handphone ditaro di meja, bersamaan dengan derai tawa seorang wartawan....



*janji cerita untuk seorang teman, tentang teman kami yang menggemaskan, saat saya dan teman kami itu sedang job training cetak di Surat Kabar Mitra Dialog (sekarang Kabar Cirebon)

Perempuan di Batas Malam

Himpitan Ekonomi Hingga Dijual Suami Seharga Rp 700 Ribu

Kamis (29/1) malam, Cirebon diguyur hujan. Aktivitas terhenti, tapi tidak di sebuah rumah di kawasan Terminal Harjamukti, Kota Cirebon. Penghuninya dua wanita dibalut baju ketat dan celana pendek sepaha, menatap lesu ke arah hujan seraya berharap hujan lekas berhenti. Bagi mereka, hujan bukanlah berkah langit.

“Kalau malam-malam begini hujan, pelanggan sedikit, pendapatan bisa seret. Kalau begini, besok kami makan apa?” ucap Ayi (bukan nama sebenarnya) gundah.

Temannya, Ena (bukan nama sebenarnya), sibuk menyapu blush-on di wajah. Sesekali dari mulutnya keluar sepenggal cerita tentang masa lalunya, yang diselingi hembusan asap rokok.

Ya, mereka adalah bagian dari kehidupan malam Kota Cirebon. Sosok yang ada dan dicari, sekaligus dicaci. Sebut mereka wanita pekerja seks (WPS), pekerja seks komersial (PSK), pelacur atau apapun. Mereka tak akan protes, karena sebutan apapun tak akan serta-merta mengangkat nasib mereka menjadi cemerlang.

“Saya PSK, saya akui itu. Tapi apa orang lain mau peduli nasib kami, mau peduli kenapa PSK seperti saya dan teman-teman ada? Kalau bisa memilih, kami juga enggak mau ngejalanin hidup seperti ini. Capek,” ungkap Ena berapi-api.

PSK kerap dikucilkan, dianggap sebagai bagian di luar masyarakat Kota Wali karena pekerjaan mereka yang kotor. Padahal, seperti apapun mereka, mereka adalah bagian dari Kota Cirebon. PSK juga manusia.


Himpitan Ekonomi Sampai Kecewa Disakiti
Wita (bukan nama sebenarnya), mengaku terpaksa menjadi PSK karena butuh uang. Terdengar klise, tapi inilah yang terjadi. Mayoritas wanita yang beralih profesi menjadi PSK karena desakan ekonomi, berdalih untuk mencukupi kebutuhan tanpa menyusahkan orang lain. Namun inilah realitanya. Rupanya uang cukup kejam untuk mengubah seorang wanita lugu seperti Wita menjadi PSK.

Yana (juga bukan nama sebenarnya), juga mengaku menjadi PSK dengan alasan yang sama. Ia butuh uang untuk menghidupi keempat anaknya, apalagi sekarang ia sedang mengandung 8 bulan. Anaknya yang paling besar masih kelas 6 SD, yang paling kecil baru 11 bulan.

"Suami sudah enggak ada, anak banyak, pekerjaan juga enggak punya. Dulu saya sempat punya pacar yang membantu ngasih makan anak-anak saya, tapi masyarakat di lingkungan rumah malah menyangka macam-macam. Kepalang tanggung dan butuh uang, ya sudah, sekalian saja. Malah saudara yang menganjurkan seperti ini," tuturnya pelan seraya memegangi kandungannya.

Namun tak sedikit pula yang menjadi PSK karena disakiti pasangannya, misalnya Yaya (juga bukan nama sebenarnya). Kecewa karena terus disakiti suami, ia memilih cerai. Apalagi ternyata suaminya pun kerap menduakannya.


Jadi PSK Karena Suami
“Saya dijual suami,” tutur Ena singkat, saat ditanya awal perkenalannya dengan dunia malam. Matanya berkaca-kaca saat mengingat masa lalunya.

Ena, wanita cantik kelahiran Bandung ini sudah dua tahun menjalani profesinya sebagai PSK. Tahun 2002, ibu tiga anak ini dijual suaminya seharga Rp 700 ribu di sebuah losmen di Terminal Harjamukti. Mereka kehabisan uang saat hendak pergi ke Brebes. Saat itulah tercetus ide gila yang didapat suaminya dari seorang tukang becak sekitar terminal.

“Waktu itu saya enggak tahu mau dibawa kemana, cuma dibilang ada yang mau kasih kerja. Enggak tahunya dibawa ke kamar hotel. Mau kabur atau teriak pun enggak berani. Saya terlalu takut dipukul lagi sama suami. Saya cuma bisa nangis. Sedih dan kecewa rasanya dijual suami sendiri,” ucap Ena.

Ena tak pernah mendapatkan nafkah dari suaminya. Suaminya malah menggunakan uang tersebut untuk berfoya-foya bersama wanita lain. Sampai akhirnya Ena mengajukan gugatan cerai. Ia dan anak-anaknya butuh makan. Tak ada pilihan lain, ia pun rela menjajakan diri agar anak-anaknya bisa makan dan bersekolah.

“Ijazah cuma sampai SMP, mau kerja apa? Anak-anak butuh makan dan harus sekolah. Saya enggak mau mereka bodoh, biar gak terjerumus seperti saya,” harapnya.

Mereka Bukan Sampah
Tak ada PSK yang mau menjalani profesinya seumur hidup. Mereka pun ingin hidup layak. Sayangnya, masyarakat seakan menutup mata akan keinginan mereka ini. Jangan lantas karena pekerjaan mereka sebagai pemuas syahwat lalu dianggap tak bisa berhenti. Nunung (bukan nama sebenarnya), sudah membuktikan. Sudah 6 tahun ia berhasil melepaskan diri dari jeratan profesinya. Kini ia merintis usaha warung kelontong. Kecil memang, tapi baginya itu sudah cukup memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

"Susah untuk pensiun dari PSK. Saya bisa berhenti karena selain keinginan kuat, juga sedikit-sedikit menabung dari pendapatan waktu masih jual diri. Begitu terkumpul modal, saya buka usaha warung. Temen-temen PSK juga banyak yang pengen berhenti. Tapi ya itu, bingung cari duitnya nanti gimana," ucap Nunung.

Ena pun mengungkapkan keinginan yang sama. Ia ingin berhenti, tapi bingung karena merasa tak ada keterampilan yang bisa diandalkan.

"Kalo kena razia terus masuk panti memang diajarin keterampilan. Tapi begitu keluar dilepas begitu saja. Enggak diarahkan untuk menggunakan keterampilan yang diajarkan, enggak diberi lahan pekerjaan. Ya akhirnya kami jual diri lagi," keluhnya.

Tiap orang punya masa lalu juga punya kesalahan, termasuk mereka. Tugas kita-lah untuk membantu dan membimbing mereka menemukan kehidupan yang lebih baik, lepas dari dunia PSK. Mereka punya keinginan kuat untuk tak lagi menjual diri, keinginan yang harus kita dukung. Jangan lantas kita mencap mereka sebagai sampah masyarakat lalu menganggap selamanya mereka buruk. Bukan kewajiban kita untuk mengucilkan mereka.

"Kadang sedih, pengen nangis. Saya begini bukan keinginan saya. Saya maunya stop. makanya sekarang nabung dikit-dikit. Tapi warga di lingkungan saya selalu memandang sebelah mata, selalu menjauh. Apalagi ibu-ibunya, mereka takut saya menggoda suami mereka. Padahal terpikir saja enggak. Saya cuma mau cari makan untuk saya dan anak-anak," sesal Ena.

Mereka manusia, sama seperti kita. Mereka bukan sampah yang harus dibuang kala sudah menebar aroma busuk. Tanpa dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menaikkan taraf hidup mereka, jumlah PSK tak akan berkurang bahkan bisa saja bertambah. Jangan salahkan mereka. Salahan diri kita masing-masing, yang kurang peka untuk mengulurkan bantuan bahkan cenderung memusuhi mereka.

Cirebon.
*Ditulis untuk Surat Kabar Mitra Dialog (sekarang Kabar Cirebon) 

Jangan Anggap Enteng KDRT

Perempuan selalu digambarkan sebagai sosok yang lembut, bahkan cenderung lemah. Tak heran jika dalam berbagai kasus kekerasan, perempuan-lah yang kerap menjadi korban. Nahasnya, rumah tangga justru produsen terbesar dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Jaringan Relawan Indonesia (JaRI), salah satu LSM yang menangani isu kekerasan terhadap perempuan mencatat lebih dari 200 kasus kekerasan di kota-kota besar, termasuk Kota Cirebon.

Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sama seperti gunung es. Hanya sejumlah kecil kasus yang terkuak karena mayoritas korban enggan melapor. Alasannya karena malu, namun tak banyak yang justru menganggap KDRT yang menimpanya adalah hal wajar. Ibaratnya bumbu dalam bahterai rumah tangga.


Tak banyak memang perempuan yang mengetahui bahaya KDRT yang mengancam. Kurangnya informasi membuat mereka terbuai dalam kenyamanan.


“Yang lebih buruk, kadang mereka tak tahu tindakan apa yang harus diambil jika mengalami abusive relationship (hubungan penuh kekerasan) atau jika melihat orang lain dalam keadaan seperti itu. Ini yang menghambat penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan,” jelas psikolog kenamaan dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Elmira Sumintardja.


Selama ini kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT dianggap sebagai hal yang biasa. Budaya yang berkembang pun seakan turut ‘melegalkan’. Bisa dikatakan, kekerasan terhadap perempuan adalah produk budaya. Bisa jadi ini muncul dari anggapan masyarakat terhadap citra perempuan dan laki-laki. Posisi perempuan kerap ditempatkan sebagai pihak yang lemah sehingga mudah ditindas.


Repotnya, budaya ini sudah mengakar dalam masyarakat sebagai kesepakatan yang tak tertulis dan menjadi nilai yang kokoh. Laki-laki dianggap sebagai simbol gagah, tegar, dan dominan. Sementara itu, perempuan dianggap sebagai simbol feminim dan lemah lembut.


Tapi apakah menjadi wajar ketika bumbu sebuah hubungan harus diwujudkan berupa kekerasan? Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan baik yang terjadi dalam ranah rumah tangga, pencabulan, perkosaan atau yang lainnya sudah menjadi persoalan hukum dan harus diselesaikan. Ini bukan lagi menjadi wilayah domestik keluarga yang bersangkutan, tapi sudah menjadi wilayah publik. Hal ini pun telah diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).


Jenis kekerasan yang masuk ke dalam kategori KDRT pun beragam. Bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Menurut Direktur Rifka’s Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC), Dra. Elli Nur Hayati, diantara keempat jenis kekerasan tersebut, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga adalah jenis yang jarang disadari oleh para korban.


“Yang dikategorikan sebagai kekerasan psikologis adalah kebohongan, ancaman, tekanan, cacian baik lewat perkataan atau perbuatan yang berakibat pada minimalisasi kemampuan mental dan otak. Ini yang tidak disadari oleh perempuan, karena selama ini yang mereka tahu hanya kekerasan dalam bentuk fisik,” tegas Elli.


Sedangkan penelantaran rumah tangga, tambahnya, berlaku jika seseorang menelantarkan orang lain dalam rumah tangganya. Penelantaran juga bisa berupa perlakuan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang bekerja.


KDRT tidak berkutat di urusan rumah tangga saja, tapi juga mencakup kekerasan berbasis jender. Seperti kekerasan terhadap istri, pelecehan seksual dan perkosaan, dan kekerasan dalam masa pacaran.


Cirebon.
*Ditulis untuk Surat Kabar Mitra Dialog (sekarang bernama Kabar Cirebon)  

Hamil 9 Bulan Malah Ditendang Suami

Adzan Magrib baru saja selesai berkumandang, namun rintik hujan belum kunjung usai. Dari sebuah jalan setapak, Fika (29, bukan nama sebenarnya), menyeruak dari kegelapan. Ia melangkah pelan menuju sebuah rumah kos-kosan di daerah Harjamukti. Sebentar-sebentar, tangan kirinya mengusap perut buncit yang tertutup setelan piyama biru laut. Terkadang ia terlihat mengernyitkan alis dan dahinya. Wajahnya seperti sedang menahan rasa sakit.

"Aduh, Fik, kamu kenapa lagi? Ayo cepet masuk, awas hati-hati licin," ucap temannya, Rina (35, bukan nama sebenarnya).

Dari nada suaranya, terdengar Rina sangat khawatir akan keadaan Fika. Fika sedang hamil 9 bulan. Kata dokter, usia kandungannya tinggal menunggu waktu untuk lahir. Rina yakin, kali ini ada sesuatu menimpa temannya itu.

"Aku habis dipukuli suamiku lagi, Rin. Kali ini perutku yang jadi sasaran. Besok bisa temenin periksa kan? Aku khawatir, mudah-mudahan bayiku enggak kenapa-kenapa," aku Fika seraya menekuri ubin.

Fika adalah salah satu dari sekian banyak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Fenomena ini layaknya gunung es, hingga kini belum diketahui secara pasti berapa banyak perempuan korban KDRT. KDRT dianggap tabu dibicarakan dengan orang lain, bahkan cenderung diaku sebagai produk budaya. KDRT dianggap wajar terjadi dalam biduk rumah tangga. Padahal KDRT bukan berada di wilayah domestik keluarga yang bersangkutan, tapi sudah menjadi wilayah publik. Hal ini pun telah diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).


Tak Banyak yang Tahu
Dalam pasal 1 ayat 1 UU PKDRT disebutkan, “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Sayangnya, tak banyak perempuan yang paham tentang KDRT. KDRT sering dianggap angin lalu. Tutor Divisi Pemberdayaan Perempuan Yayasan Banati, Revita, kerap kesulitan menangani kasus KDRT. Penyebabnya, korban merasa malu dan enggan berbagi kisah.

"Mereka menganggap perlakuan kekerasan dari suami adalah hal yang wajar. Mereka nrimo saja, karena dianggap sebagai hukuman atas kesalahan mereka. Padahal meskipun mereka salah, tetap ada batasan sejauh mana kekerasan diberlakukan," jelasnya.

Akibat minimnya informasi, kadang mereka tak tahu tindakan apa yang harus diambil jika mengalami abusive relationship (hubungan penuh kekerasan) atau jika melihat orang lain dalam keadaan tersebut. Inilah yang menghambat penanganan tindak KDRT. Contohnya pada kasus Fika.

Fika kerap mendapat perlakuan kasar dari suaminya, Andi (31, juga bukan nama sebenarnya). Alasannya sepele, Andi ingin meminta uang untuk berfoya-foya. Terkadang, uang hasil jerih payah istrinya justru dipakai untuk menikmati tubuh wanita lain. Bukannya pura-pura tak tahu dan tak ingin berontak, Fika terlalu takut jika sang suami meninggalkan dirinya.

"Kadang nangis, sedih, marah. Tapi kalau diceraikan, kasihan sama anak ini. Aku berharap Mas Andi akan insyaf setelah anak kami lahir. Mudah-mudahan perilakunya yang suka memukul juga hilang," ucap Fika pasrah, tangannya tak pernah lepas mengelus lembut perutnya.

Ia tak pernah mengonsultasikan KDRT yang menimpanya. Baginya, itu aib keluarga, cukup teman-teman dekatnya saja yang tahu. Selain itu, lembaga yang menangani masalah KDRT di Cirebon pun masih sedikit. Padahal masalah KDRT pun bisa dimejahijaukan, terutama jenis KDRT yang termasuk kategori kekerasan fisik, mengingat bukti bisa didapat dari hasil visum. Apalagi, KDRT tidak berkutat di urusan rumah tangga saja, tapi juga mencakup kekerasan berbasis jender. Seperti kekerasan terhadap istri, pelecehan seksual dan perkosaan, dan kekerasan dalam masa pacaran.


Cirebon.
*Ditulis untuk Surat Kabar Mitra Dialog (sekarang bernama Kabar Cirebon)