Friday, 6 February 2009

Perempuan di Batas Malam

Himpitan Ekonomi Hingga Dijual Suami Seharga Rp 700 Ribu

Kamis (29/1) malam, Cirebon diguyur hujan. Aktivitas terhenti, tapi tidak di sebuah rumah di kawasan Terminal Harjamukti, Kota Cirebon. Penghuninya dua wanita dibalut baju ketat dan celana pendek sepaha, menatap lesu ke arah hujan seraya berharap hujan lekas berhenti. Bagi mereka, hujan bukanlah berkah langit.

“Kalau malam-malam begini hujan, pelanggan sedikit, pendapatan bisa seret. Kalau begini, besok kami makan apa?” ucap Ayi (bukan nama sebenarnya) gundah.

Temannya, Ena (bukan nama sebenarnya), sibuk menyapu blush-on di wajah. Sesekali dari mulutnya keluar sepenggal cerita tentang masa lalunya, yang diselingi hembusan asap rokok.

Ya, mereka adalah bagian dari kehidupan malam Kota Cirebon. Sosok yang ada dan dicari, sekaligus dicaci. Sebut mereka wanita pekerja seks (WPS), pekerja seks komersial (PSK), pelacur atau apapun. Mereka tak akan protes, karena sebutan apapun tak akan serta-merta mengangkat nasib mereka menjadi cemerlang.

“Saya PSK, saya akui itu. Tapi apa orang lain mau peduli nasib kami, mau peduli kenapa PSK seperti saya dan teman-teman ada? Kalau bisa memilih, kami juga enggak mau ngejalanin hidup seperti ini. Capek,” ungkap Ena berapi-api.

PSK kerap dikucilkan, dianggap sebagai bagian di luar masyarakat Kota Wali karena pekerjaan mereka yang kotor. Padahal, seperti apapun mereka, mereka adalah bagian dari Kota Cirebon. PSK juga manusia.


Himpitan Ekonomi Sampai Kecewa Disakiti
Wita (bukan nama sebenarnya), mengaku terpaksa menjadi PSK karena butuh uang. Terdengar klise, tapi inilah yang terjadi. Mayoritas wanita yang beralih profesi menjadi PSK karena desakan ekonomi, berdalih untuk mencukupi kebutuhan tanpa menyusahkan orang lain. Namun inilah realitanya. Rupanya uang cukup kejam untuk mengubah seorang wanita lugu seperti Wita menjadi PSK.

Yana (juga bukan nama sebenarnya), juga mengaku menjadi PSK dengan alasan yang sama. Ia butuh uang untuk menghidupi keempat anaknya, apalagi sekarang ia sedang mengandung 8 bulan. Anaknya yang paling besar masih kelas 6 SD, yang paling kecil baru 11 bulan.

"Suami sudah enggak ada, anak banyak, pekerjaan juga enggak punya. Dulu saya sempat punya pacar yang membantu ngasih makan anak-anak saya, tapi masyarakat di lingkungan rumah malah menyangka macam-macam. Kepalang tanggung dan butuh uang, ya sudah, sekalian saja. Malah saudara yang menganjurkan seperti ini," tuturnya pelan seraya memegangi kandungannya.

Namun tak sedikit pula yang menjadi PSK karena disakiti pasangannya, misalnya Yaya (juga bukan nama sebenarnya). Kecewa karena terus disakiti suami, ia memilih cerai. Apalagi ternyata suaminya pun kerap menduakannya.


Jadi PSK Karena Suami
“Saya dijual suami,” tutur Ena singkat, saat ditanya awal perkenalannya dengan dunia malam. Matanya berkaca-kaca saat mengingat masa lalunya.

Ena, wanita cantik kelahiran Bandung ini sudah dua tahun menjalani profesinya sebagai PSK. Tahun 2002, ibu tiga anak ini dijual suaminya seharga Rp 700 ribu di sebuah losmen di Terminal Harjamukti. Mereka kehabisan uang saat hendak pergi ke Brebes. Saat itulah tercetus ide gila yang didapat suaminya dari seorang tukang becak sekitar terminal.

“Waktu itu saya enggak tahu mau dibawa kemana, cuma dibilang ada yang mau kasih kerja. Enggak tahunya dibawa ke kamar hotel. Mau kabur atau teriak pun enggak berani. Saya terlalu takut dipukul lagi sama suami. Saya cuma bisa nangis. Sedih dan kecewa rasanya dijual suami sendiri,” ucap Ena.

Ena tak pernah mendapatkan nafkah dari suaminya. Suaminya malah menggunakan uang tersebut untuk berfoya-foya bersama wanita lain. Sampai akhirnya Ena mengajukan gugatan cerai. Ia dan anak-anaknya butuh makan. Tak ada pilihan lain, ia pun rela menjajakan diri agar anak-anaknya bisa makan dan bersekolah.

“Ijazah cuma sampai SMP, mau kerja apa? Anak-anak butuh makan dan harus sekolah. Saya enggak mau mereka bodoh, biar gak terjerumus seperti saya,” harapnya.

Mereka Bukan Sampah
Tak ada PSK yang mau menjalani profesinya seumur hidup. Mereka pun ingin hidup layak. Sayangnya, masyarakat seakan menutup mata akan keinginan mereka ini. Jangan lantas karena pekerjaan mereka sebagai pemuas syahwat lalu dianggap tak bisa berhenti. Nunung (bukan nama sebenarnya), sudah membuktikan. Sudah 6 tahun ia berhasil melepaskan diri dari jeratan profesinya. Kini ia merintis usaha warung kelontong. Kecil memang, tapi baginya itu sudah cukup memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

"Susah untuk pensiun dari PSK. Saya bisa berhenti karena selain keinginan kuat, juga sedikit-sedikit menabung dari pendapatan waktu masih jual diri. Begitu terkumpul modal, saya buka usaha warung. Temen-temen PSK juga banyak yang pengen berhenti. Tapi ya itu, bingung cari duitnya nanti gimana," ucap Nunung.

Ena pun mengungkapkan keinginan yang sama. Ia ingin berhenti, tapi bingung karena merasa tak ada keterampilan yang bisa diandalkan.

"Kalo kena razia terus masuk panti memang diajarin keterampilan. Tapi begitu keluar dilepas begitu saja. Enggak diarahkan untuk menggunakan keterampilan yang diajarkan, enggak diberi lahan pekerjaan. Ya akhirnya kami jual diri lagi," keluhnya.

Tiap orang punya masa lalu juga punya kesalahan, termasuk mereka. Tugas kita-lah untuk membantu dan membimbing mereka menemukan kehidupan yang lebih baik, lepas dari dunia PSK. Mereka punya keinginan kuat untuk tak lagi menjual diri, keinginan yang harus kita dukung. Jangan lantas kita mencap mereka sebagai sampah masyarakat lalu menganggap selamanya mereka buruk. Bukan kewajiban kita untuk mengucilkan mereka.

"Kadang sedih, pengen nangis. Saya begini bukan keinginan saya. Saya maunya stop. makanya sekarang nabung dikit-dikit. Tapi warga di lingkungan saya selalu memandang sebelah mata, selalu menjauh. Apalagi ibu-ibunya, mereka takut saya menggoda suami mereka. Padahal terpikir saja enggak. Saya cuma mau cari makan untuk saya dan anak-anak," sesal Ena.

Mereka manusia, sama seperti kita. Mereka bukan sampah yang harus dibuang kala sudah menebar aroma busuk. Tanpa dukungan masyarakat dan pemerintah untuk menaikkan taraf hidup mereka, jumlah PSK tak akan berkurang bahkan bisa saja bertambah. Jangan salahkan mereka. Salahan diri kita masing-masing, yang kurang peka untuk mengulurkan bantuan bahkan cenderung memusuhi mereka.

Cirebon.
*Ditulis untuk Surat Kabar Mitra Dialog (sekarang Kabar Cirebon) 

No comments:

Post a Comment