Adzan Magrib baru saja selesai berkumandang, namun rintik hujan belum kunjung usai. Dari sebuah jalan setapak, Fika (29, bukan nama sebenarnya), menyeruak dari kegelapan. Ia melangkah pelan menuju sebuah rumah kos-kosan di daerah Harjamukti. Sebentar-sebentar, tangan kirinya mengusap perut buncit yang tertutup setelan piyama biru laut. Terkadang ia terlihat mengernyitkan alis dan dahinya. Wajahnya seperti sedang menahan rasa sakit.
"Aduh, Fik, kamu kenapa lagi? Ayo cepet masuk, awas hati-hati licin," ucap temannya, Rina (35, bukan nama sebenarnya).
Dari nada suaranya, terdengar Rina sangat khawatir akan keadaan Fika. Fika sedang hamil 9 bulan. Kata dokter, usia kandungannya tinggal menunggu waktu untuk lahir. Rina yakin, kali ini ada sesuatu menimpa temannya itu.
"Aku habis dipukuli suamiku lagi, Rin. Kali ini perutku yang jadi sasaran. Besok bisa temenin periksa kan? Aku khawatir, mudah-mudahan bayiku enggak kenapa-kenapa," aku Fika seraya menekuri ubin.
Fika adalah salah satu dari sekian banyak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Fenomena ini layaknya gunung es, hingga kini belum diketahui secara pasti berapa banyak perempuan korban KDRT. KDRT dianggap tabu dibicarakan dengan orang lain, bahkan cenderung diaku sebagai produk budaya. KDRT dianggap wajar terjadi dalam biduk rumah tangga. Padahal KDRT bukan berada di wilayah domestik keluarga yang bersangkutan, tapi sudah menjadi wilayah publik. Hal ini pun telah diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Tak Banyak yang Tahu
Dalam pasal 1 ayat 1 UU PKDRT disebutkan, “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Sayangnya, tak banyak perempuan yang paham tentang KDRT. KDRT sering dianggap angin lalu. Tutor Divisi Pemberdayaan Perempuan Yayasan Banati, Revita, kerap kesulitan menangani kasus KDRT. Penyebabnya, korban merasa malu dan enggan berbagi kisah.
"Mereka menganggap perlakuan kekerasan dari suami adalah hal yang wajar. Mereka nrimo saja, karena dianggap sebagai hukuman atas kesalahan mereka. Padahal meskipun mereka salah, tetap ada batasan sejauh mana kekerasan diberlakukan," jelasnya.
Akibat minimnya informasi, kadang mereka tak tahu tindakan apa yang harus diambil jika mengalami abusive relationship (hubungan penuh kekerasan) atau jika melihat orang lain dalam keadaan tersebut. Inilah yang menghambat penanganan tindak KDRT. Contohnya pada kasus Fika.
Fika kerap mendapat perlakuan kasar dari suaminya, Andi (31, juga bukan nama sebenarnya). Alasannya sepele, Andi ingin meminta uang untuk berfoya-foya. Terkadang, uang hasil jerih payah istrinya justru dipakai untuk menikmati tubuh wanita lain. Bukannya pura-pura tak tahu dan tak ingin berontak, Fika terlalu takut jika sang suami meninggalkan dirinya.
"Kadang nangis, sedih, marah. Tapi kalau diceraikan, kasihan sama anak ini. Aku berharap Mas Andi akan insyaf setelah anak kami lahir. Mudah-mudahan perilakunya yang suka memukul juga hilang," ucap Fika pasrah, tangannya tak pernah lepas mengelus lembut perutnya.
Ia tak pernah mengonsultasikan KDRT yang menimpanya. Baginya, itu aib keluarga, cukup teman-teman dekatnya saja yang tahu. Selain itu, lembaga yang menangani masalah KDRT di Cirebon pun masih sedikit. Padahal masalah KDRT pun bisa dimejahijaukan, terutama jenis KDRT yang termasuk kategori kekerasan fisik, mengingat bukti bisa didapat dari hasil visum. Apalagi, KDRT tidak berkutat di urusan rumah tangga saja, tapi juga mencakup kekerasan berbasis jender. Seperti kekerasan terhadap istri, pelecehan seksual dan perkosaan, dan kekerasan dalam masa pacaran.
Cirebon.
*Ditulis untuk Surat Kabar Mitra Dialog (sekarang bernama Kabar Cirebon)
"Aduh, Fik, kamu kenapa lagi? Ayo cepet masuk, awas hati-hati licin," ucap temannya, Rina (35, bukan nama sebenarnya).
Dari nada suaranya, terdengar Rina sangat khawatir akan keadaan Fika. Fika sedang hamil 9 bulan. Kata dokter, usia kandungannya tinggal menunggu waktu untuk lahir. Rina yakin, kali ini ada sesuatu menimpa temannya itu.
"Aku habis dipukuli suamiku lagi, Rin. Kali ini perutku yang jadi sasaran. Besok bisa temenin periksa kan? Aku khawatir, mudah-mudahan bayiku enggak kenapa-kenapa," aku Fika seraya menekuri ubin.
Fika adalah salah satu dari sekian banyak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Fenomena ini layaknya gunung es, hingga kini belum diketahui secara pasti berapa banyak perempuan korban KDRT. KDRT dianggap tabu dibicarakan dengan orang lain, bahkan cenderung diaku sebagai produk budaya. KDRT dianggap wajar terjadi dalam biduk rumah tangga. Padahal KDRT bukan berada di wilayah domestik keluarga yang bersangkutan, tapi sudah menjadi wilayah publik. Hal ini pun telah diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Tak Banyak yang Tahu
Dalam pasal 1 ayat 1 UU PKDRT disebutkan, “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Sayangnya, tak banyak perempuan yang paham tentang KDRT. KDRT sering dianggap angin lalu. Tutor Divisi Pemberdayaan Perempuan Yayasan Banati, Revita, kerap kesulitan menangani kasus KDRT. Penyebabnya, korban merasa malu dan enggan berbagi kisah.
"Mereka menganggap perlakuan kekerasan dari suami adalah hal yang wajar. Mereka nrimo saja, karena dianggap sebagai hukuman atas kesalahan mereka. Padahal meskipun mereka salah, tetap ada batasan sejauh mana kekerasan diberlakukan," jelasnya.
Akibat minimnya informasi, kadang mereka tak tahu tindakan apa yang harus diambil jika mengalami abusive relationship (hubungan penuh kekerasan) atau jika melihat orang lain dalam keadaan tersebut. Inilah yang menghambat penanganan tindak KDRT. Contohnya pada kasus Fika.
Fika kerap mendapat perlakuan kasar dari suaminya, Andi (31, juga bukan nama sebenarnya). Alasannya sepele, Andi ingin meminta uang untuk berfoya-foya. Terkadang, uang hasil jerih payah istrinya justru dipakai untuk menikmati tubuh wanita lain. Bukannya pura-pura tak tahu dan tak ingin berontak, Fika terlalu takut jika sang suami meninggalkan dirinya.
"Kadang nangis, sedih, marah. Tapi kalau diceraikan, kasihan sama anak ini. Aku berharap Mas Andi akan insyaf setelah anak kami lahir. Mudah-mudahan perilakunya yang suka memukul juga hilang," ucap Fika pasrah, tangannya tak pernah lepas mengelus lembut perutnya.
Ia tak pernah mengonsultasikan KDRT yang menimpanya. Baginya, itu aib keluarga, cukup teman-teman dekatnya saja yang tahu. Selain itu, lembaga yang menangani masalah KDRT di Cirebon pun masih sedikit. Padahal masalah KDRT pun bisa dimejahijaukan, terutama jenis KDRT yang termasuk kategori kekerasan fisik, mengingat bukti bisa didapat dari hasil visum. Apalagi, KDRT tidak berkutat di urusan rumah tangga saja, tapi juga mencakup kekerasan berbasis jender. Seperti kekerasan terhadap istri, pelecehan seksual dan perkosaan, dan kekerasan dalam masa pacaran.
Cirebon.
*Ditulis untuk Surat Kabar Mitra Dialog (sekarang bernama Kabar Cirebon)
No comments:
Post a Comment