“Merdeka! Merdeka! Merdeka!”
Puluhan tangan terkepal di udara. Sekitar 50 orang bersahutan meneriakkan kata tersebut. Puluhan lainnya berkerumun di depan Gedung Serba Guna LPM Kecapi, Kec. Harjamukti, Minggu (9/2) siang.
Begitulah suasana dialog antara para caleg dan masyarakat di Kel. Kecapi, Kec. Harjamukti. Suasananya sungguh hangat, padahal di luar, hujan sudah mengguyur jalanan Kota Cirebon sejak acara dimulai pukul 9 pagi.
“Negara kita belum merdeka, terutama secara ekonomi dan kebudayaan! Maka, kita harus menyebarkan semangat untuk meraih kemerdekaan itu. Merdeka!”, ujar R. Rohadi lantang.
Pria berjas merah itu tak sendirian, di sampingnya ada empat orang yang siap berdialog dengan warga. Mereka adalah para caleg DPRD Kota Cirebon, yakni R. Panji Amiarsa (Partai Demokrat), Karsono SH (Partai Hanura), H. Kusnadi Nuried (PBB), dan Drs. Junizar Wisnadjaja (PPRN). Rohadi sendiri adalah caleg dari PDI Perjuangan.
Sedari pagi, mereka sudah bersemangat menanggapi beragam pertanyaan masyarakat seputar masalah politik dan kerakyatan. Tak mau kalah, warga pun antusias mengajukan pertanyaan dan opini politik mereka mengenai banyak hal, seperti pemberdayaan ekonomi kerakyatan serta rangkap jabatan bagi caleg. Misalnya Johanes. Ia menaruh perhatian pada konsep suara terbanyak bagi caleg yang disahkan Mahkamah Konstitusi (MK). Para caleg pun menanggapinya dengan jawaban yang berbeda-beda.
Money Politics
Rohadi menolak keras jika sistem suara terbanyak ini dikatakan bertentangan dengan hukum, karena menurutnya putusan ini sah melalui putusan judisial. Bertentangan, Karsono justru menganggap sistem ini mampu memicu terjadinya praktek money politics.
“Dengan sistem suara terbanyak, maka otomatis tujuannya untuk merangkul pemilih sebanyak mungkin. Cara termudahnya ya itu, lewat money politics,” jelas Karsono.
Ini pun menjadi bukti bahwa dalam urusan demokrasi pun, kita belum merdeka karena masih diperbudak uang. Kemungkinan lain, tambahnya, sistem ini berpotensi sebagai deparpolitisasi. Artinya, dikhawatirkan dapat melemahkan posisi partai politik (parpol).
“Parpol lambat laun berubah menjadi kendaraan bagi si caleg, yang mudah disewa. Dengan menggandeng parpol, caleg akan lebih mudah menghimpun suara. Parpol hanya akan menjadi alat. Ini kan sama aja seperti merentalkan parpol,” tegasnya.
Caleg lainnya, Panji, melihat fenomena suara terbanyak sebanyai sarana koreksi dan review bagi caleg. Menurutnya, konsep suara terbanyak bisa dimanfaatkan untuk mengukur sejauh mana kinerja maupun populeritas caleg di mata masyarakat.
Terkait masalah money politics, Rohadi memberikan sarannya. Dengan berseloroh, ia menyarankan masyarakat untuk menerima uang yang diberikan caleg. Namun ia menegaskan untuk jangan memilih caleg tersebut.
“Ambil uangnya, tapi jangan pilih orangnya. Itu untuk memberinya pelajaran agar kapok main money politics!,” ucapnya berapi-api.
Harus Janji Selalu Jujur
Di akhir sesi dialog, salah satu warga, Nurhasan, memberikan sebuah pertanyaan yang sontak membuat kelima caleg tersenyum.
“Sanggupkan para caleg untuk tidak berbohong?” tanyanya singkat.
Seraya tersenyum, Kusnadi menjawabnya secara diplomatis layaknya politikus sejati.
“Insya Allah tidak akan bohong. Kalaupun terpaksa, mudah-mudahan tidak merugikan masyarakat,” jawabnya, yang segera disambut riuh tepuk tangan warga.
Caleg lainnya pun tak jauh berbeda. Semuanya berjanji untuk tak berbohong, dengan prinsip yang tak jauh berbeda: terpaksa berbohong jika untuk kebenaran asal tak merugikan rakyat.
Kejujuran diakui sebagai mata uang yang paling laris di dunia. Ini pulalah yang dianggap Nurhasan harus dimiliki para caleg sebagai mentalitas dasar untuk mengabdi kepada rakyat. Tapi, sebagai manusia, tentunya kita pun kadang masih sulit menghindari kesalahan. Seperti Junizar.
“Maunya sih enggak akan bohong. Tapi kan manusia, Insya Allah khilaf.”
Tak butuh waktu lama, gelak tawa pun langsung membahana mengisi seisi gedung. Junizar pun buru-buru meralat perkataannya. Ah, namanya juga manusia, masih bisa khilaf. Bukan begitu?
No comments:
Post a Comment