Perempuan selalu digambarkan sebagai sosok yang lembut, bahkan cenderung lemah. Tak heran jika dalam berbagai kasus kekerasan, perempuan-lah yang kerap menjadi korban. Nahasnya, rumah tangga justru produsen terbesar dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Jaringan Relawan Indonesia (JaRI), salah satu LSM yang menangani isu kekerasan terhadap perempuan mencatat lebih dari 200 kasus kekerasan di kota-kota besar, termasuk Kota Cirebon.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sama seperti gunung es. Hanya sejumlah kecil kasus yang terkuak karena mayoritas korban enggan melapor. Alasannya karena malu, namun tak banyak yang justru menganggap KDRT yang menimpanya adalah hal wajar. Ibaratnya bumbu dalam bahterai rumah tangga.
Tak banyak memang perempuan yang mengetahui bahaya KDRT yang mengancam. Kurangnya informasi membuat mereka terbuai dalam kenyamanan.
“Yang lebih buruk, kadang mereka tak tahu tindakan apa yang harus diambil jika mengalami abusive relationship (hubungan penuh kekerasan) atau jika melihat orang lain dalam keadaan seperti itu. Ini yang menghambat penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan,” jelas psikolog kenamaan dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Elmira Sumintardja.
Selama ini kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT dianggap sebagai hal yang biasa. Budaya yang berkembang pun seakan turut ‘melegalkan’. Bisa dikatakan, kekerasan terhadap perempuan adalah produk budaya. Bisa jadi ini muncul dari anggapan masyarakat terhadap citra perempuan dan laki-laki. Posisi perempuan kerap ditempatkan sebagai pihak yang lemah sehingga mudah ditindas.
Repotnya, budaya ini sudah mengakar dalam masyarakat sebagai kesepakatan yang tak tertulis dan menjadi nilai yang kokoh. Laki-laki dianggap sebagai simbol gagah, tegar, dan dominan. Sementara itu, perempuan dianggap sebagai simbol feminim dan lemah lembut.
Tapi apakah menjadi wajar ketika bumbu sebuah hubungan harus diwujudkan berupa kekerasan? Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan baik yang terjadi dalam ranah rumah tangga, pencabulan, perkosaan atau yang lainnya sudah menjadi persoalan hukum dan harus diselesaikan. Ini bukan lagi menjadi wilayah domestik keluarga yang bersangkutan, tapi sudah menjadi wilayah publik. Hal ini pun telah diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Jenis kekerasan yang masuk ke dalam kategori KDRT pun beragam. Bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Menurut Direktur Rifka’s Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC), Dra. Elli Nur Hayati, diantara keempat jenis kekerasan tersebut, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga adalah jenis yang jarang disadari oleh para korban.
“Yang dikategorikan sebagai kekerasan psikologis adalah kebohongan, ancaman, tekanan, cacian baik lewat perkataan atau perbuatan yang berakibat pada minimalisasi kemampuan mental dan otak. Ini yang tidak disadari oleh perempuan, karena selama ini yang mereka tahu hanya kekerasan dalam bentuk fisik,” tegas Elli.
Sedangkan penelantaran rumah tangga, tambahnya, berlaku jika seseorang menelantarkan orang lain dalam rumah tangganya. Penelantaran juga bisa berupa perlakuan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang bekerja.
KDRT tidak berkutat di urusan rumah tangga saja, tapi juga mencakup kekerasan berbasis jender. Seperti kekerasan terhadap istri, pelecehan seksual dan perkosaan, dan kekerasan dalam masa pacaran.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sama seperti gunung es. Hanya sejumlah kecil kasus yang terkuak karena mayoritas korban enggan melapor. Alasannya karena malu, namun tak banyak yang justru menganggap KDRT yang menimpanya adalah hal wajar. Ibaratnya bumbu dalam bahterai rumah tangga.
Tak banyak memang perempuan yang mengetahui bahaya KDRT yang mengancam. Kurangnya informasi membuat mereka terbuai dalam kenyamanan.
“Yang lebih buruk, kadang mereka tak tahu tindakan apa yang harus diambil jika mengalami abusive relationship (hubungan penuh kekerasan) atau jika melihat orang lain dalam keadaan seperti itu. Ini yang menghambat penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan,” jelas psikolog kenamaan dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Elmira Sumintardja.
Selama ini kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT dianggap sebagai hal yang biasa. Budaya yang berkembang pun seakan turut ‘melegalkan’. Bisa dikatakan, kekerasan terhadap perempuan adalah produk budaya. Bisa jadi ini muncul dari anggapan masyarakat terhadap citra perempuan dan laki-laki. Posisi perempuan kerap ditempatkan sebagai pihak yang lemah sehingga mudah ditindas.
Repotnya, budaya ini sudah mengakar dalam masyarakat sebagai kesepakatan yang tak tertulis dan menjadi nilai yang kokoh. Laki-laki dianggap sebagai simbol gagah, tegar, dan dominan. Sementara itu, perempuan dianggap sebagai simbol feminim dan lemah lembut.
Tapi apakah menjadi wajar ketika bumbu sebuah hubungan harus diwujudkan berupa kekerasan? Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan baik yang terjadi dalam ranah rumah tangga, pencabulan, perkosaan atau yang lainnya sudah menjadi persoalan hukum dan harus diselesaikan. Ini bukan lagi menjadi wilayah domestik keluarga yang bersangkutan, tapi sudah menjadi wilayah publik. Hal ini pun telah diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Jenis kekerasan yang masuk ke dalam kategori KDRT pun beragam. Bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Menurut Direktur Rifka’s Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC), Dra. Elli Nur Hayati, diantara keempat jenis kekerasan tersebut, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga adalah jenis yang jarang disadari oleh para korban.
“Yang dikategorikan sebagai kekerasan psikologis adalah kebohongan, ancaman, tekanan, cacian baik lewat perkataan atau perbuatan yang berakibat pada minimalisasi kemampuan mental dan otak. Ini yang tidak disadari oleh perempuan, karena selama ini yang mereka tahu hanya kekerasan dalam bentuk fisik,” tegas Elli.
Sedangkan penelantaran rumah tangga, tambahnya, berlaku jika seseorang menelantarkan orang lain dalam rumah tangganya. Penelantaran juga bisa berupa perlakuan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang bekerja.
KDRT tidak berkutat di urusan rumah tangga saja, tapi juga mencakup kekerasan berbasis jender. Seperti kekerasan terhadap istri, pelecehan seksual dan perkosaan, dan kekerasan dalam masa pacaran.
Cirebon.
*Ditulis untuk Surat Kabar Mitra Dialog (sekarang bernama Kabar Cirebon)
No comments:
Post a Comment