Aku adalah seorang gadis yang dilahirkan di sebuah kota pelabuhan kecil. Aku lahir, besar, dan tinggal di sini. Tempat di mana segala hal klenik dirawat dengan apik. Lihatlah tiga keraton yang masih berdiri kokoh, lengkap dengan segala hierarkinya. Lihat pula gunung di ujung sana. Gunung yang katanya menyimpan selaksa misteri, yang kadang bisa terdengar auman harimau putih penunggu Pasundan. Lalu bertandanglah ke kolam pemandian di kaki gunungnya. Segarkan dirimu dengan air bulan, bermainlah dengan sekumpulan ikan yang ada di kolam. Tapi jangan harap bisa menyentuh ikan-ikan yang berenang bebas, kecuali, jika mereka mengijinkanmu membelai sisiknya yang licin.
Jangan pula menetes air liurmu karena melihat ikan besar di kolam sebelahnya. Percayalah, kau tak akan mau menggelepar keesokan harinya karena memakan daging ikan bertuah tersebut. Dahulu kala pernah ada pria keturunan Jepang yang tergiur. Dibawanya ikan tersebut pulang, dipotong, lalu dimasaknya dengan beragam rempah-rempah. Harumnya menyebar ke segala penjuru arah. Keesokan harinya penduduk gempar. Pria keturunan Jepang tersebut sudah tergeletak di lantai. Mungkin Izroil mencabut nyawanya semalam. Tapi, ikan yang kemarin dipanggulnya pulang telah berenang gemulai di dalam kolam. Itulah akibatnya kalau melanggar pamali, begitu bisik-bisik orang saat menceritakan kisahnya ke anak-cucu mereka.
Jangan pula menetes air liurmu karena melihat ikan besar di kolam sebelahnya. Percayalah, kau tak akan mau menggelepar keesokan harinya karena memakan daging ikan bertuah tersebut. Dahulu kala pernah ada pria keturunan Jepang yang tergiur. Dibawanya ikan tersebut pulang, dipotong, lalu dimasaknya dengan beragam rempah-rempah. Harumnya menyebar ke segala penjuru arah. Keesokan harinya penduduk gempar. Pria keturunan Jepang tersebut sudah tergeletak di lantai. Mungkin Izroil mencabut nyawanya semalam. Tapi, ikan yang kemarin dipanggulnya pulang telah berenang gemulai di dalam kolam. Itulah akibatnya kalau melanggar pamali, begitu bisik-bisik orang saat menceritakan kisahnya ke anak-cucu mereka.
Tapi bukan itu yang hendak ku ceritakan padamu. Aku ingin bercerita tentang aku.
Aku gadis yang besar di tempat dimana segala gonderuwo, pocong, buto ijo, wewe gombel, dan hantu asor lainnya bersemayam dalam hati penduduknya. Penduduk percaya, malam Juma’t, terutama Jum’at Kliwon adalah malam keramat. Malam dimana segala kekuatan gaib akan menampakkan wujudnya. Malam keramat yang mungkin hanya bisa disaingi oleh malam 1 Suro. Malam dimana angin akan berhenti berhembus dan segala perkakas keraton dikeluarkan untuk disucikan. Lalu angin akan menebarkan harum bunga kamboja, mawar, melati keraton, juga sedap malam. Ratusan orang bersemadi, menyatukan diri dengan alam. Air doa akan dibagikan. Puja dan puji pun akan dihaturkan kepada Gusti nan Agung, sembari memohon keselamatan dan kesejahteraan. Lalu di tempat-tempat tertentu, tampah berisi kembang 7 rupa, kopi pahit, rokok kretek, dan buah-buahan disuguhkan.
Tapi malam ini bukan malam Jum’at Kliwon, bukan pula malam 1 Suro. Juga bukan malam Selasa Legi dimana makhluk-mahkluk pesugihan akan mengambil wadalnya. Ini Selasa malam. Tak ada yang istimewa di malam ini, setidaknya itulah yang aku percayai. Suatu keanehan jika kemudian di malam ini aku merasakan getar-getar mistis di sepanjang sumsum tulang belakang, yang kemudian meremangkan tengkuk. Belum lagi burung perkutut yang tergantung di depan jendela tiba-tiba merobek keheningan tengah malam. Hanya burung yang tergantung di luar kamarku, tapi tidak dengan burung lain yang berada di samping rumah. Dan ini bukan hal yang biasa terjadi.
Jantungku refleks berdegup cepat. Aku yang sedari sore muram menjadi makin temaram. Moodku memang sedang tak baik. Aku sedang murung tak beralasan. Tapi inilah perempuan, punya saat-saat menjadi makhluk paling murung saat si bulan datang. Kukutuki burung perkutut yang mengagetkan gara-gara ocehannya di tengah malam. Dari kejauhan lamat-lamat kudengar gonggongan anjing. Entah anjing liar atau berpemilik, aku tak mau ambil pusing. Tapi gonggongannya itulah yang membuatku berdesir. Ingat, aku tinggal di tempat dimana kepercayaan mistis telah begitu merasuk dalam kalbu. Dimana setiap bocah dininabobokan dengan dongeng tentang wewe gombel yang memakan anak bandel juga anak yang enggan belajar dan tidur cepat. Dimana setiap bocah akrab dengan ancaman tentang Buto Kala yang kerap menculik anak-anak jika mereka masih bermain saat lembayung turun di ufuk barat. Gonggongan si anjing mengingatkanku bahwa binatang lebih mampu melihat sosok makhluk gaib. Gonggongannya mungkin dari jauh, tapi bagaimana dengan celotehan burung perkutut di depan jendela kamarku?
Kueratkan selimut. Bukan,bukan karena takut akan imajinasi tentang sesosok makhluk tinggi besar yang tengah mengintipku dari balik lubang angin. Tapi berkat hawa dingin yang menyelusup ke pori-pori lalu berdiam di sendi-sendi tulang. Aku adalah gadis yang lahir dengan membawa segala klenik dalam aliran darahku. Samar-samar kulihat dalam anganku, sepenggal kepala yang menyala-nyala dengan rambut-rambut api, melayang di depan jendela kamar. Matanya melotot, dengan taring-taring besar yang menyeruak dari dalam mulut. Lidahnya yang semerah darah menjuntai panjang. Di pulau Dewata nun jauh, kepala itu disebut Banaspati. Ia melayang-layang dari tengah hutan ke rumah yang ia inginkan, untuk memakan darah haid. Dan sialnya, ini malam kedua dari masa keperempuananku. Tapi kupikir, bukankah Banaspati tidak menyeberang laut untuk mencari darah haid? Ia hanya lestari di pulau sana, bukan di sini. Lalu buat apa ia berdiam di depan kamar?
Lalu tiba-tiba aku membayangkan sosok lain yang menggantikan sang Banaspati. Sosok yang lebih kekinian. Tak lagi menyeramkan tapi tetap membuat jantung berhenti berdetak. Ia yang abadi dalam kisah dan tersimpan dalam relung hati remaja masa kini. Sekilas aku melihat deretan giginya yang putih dan tersusun rapi berkilau ditimpa cahaya rembulan. Ah, mungkin dengan kekuatan bulan-lah ia akan menghukum mereka yang tak percaya keberadaannya. Mungkin karena hanya di malam gelap ia mampu berkeliaran. Mungkin, karena ia memang tak memiliki tuah sakti laksana sang Banaspati.
Didera rasa penasaran kuhampiri daun jendela. Kusibak kain gorden untuk menangkap raut wajahnya. Tapi sayang, kelebat hitam keburu memisahkan. Tapi sebelum ia menjauh, masih bisa kupastikan gemerlap menakjubkan di kulitnya. Masih pula kudengar gemerisik angin yang berisik hendak menyampaikan sesuatu padaku. “Memet Kulen”. Rasanya itu yang kudengar darinya. Terdengar dingin dan mematikan namun tetap mempesona. Entah mengapa, aku telah merasa jatuh cinta padanya. Di kejauhan, kulihat sang Banaspati mulai menjauh. Rona api di rambutnya perlahan memudar. Sang Banaspati sudah kalah judi, dan ia harus kembali ke lembaran-lembaran kisah tanpa bisa mewujud kembali. Di tanah keramat ini, pamornya telah mati. Sang Banaspati runtuh digeser keping DVD.
tanah sang wali
No comments:
Post a Comment