Tuesday, 25 January 2011

Antara Mengampuni dan Berdamai (?)

 
Gara-gara membaca kisah Parang Jati, Marja Manjali, dan Sandi Yuda dalam buku Manjadi dan Cakrabirawa, terutama di bagian Yuda mengkhianati pacar dan sabahatnya; tepatnya saat Marja menanyakan apakah Jati akan memaafkan kesalahan Yuda atau tidak membuat saya teringat akan sesuatu. Tentang persahabatan dari masa kuliah antara sekumpulan lelaki, tentang kepercayaan di ranah profesi, juga tentang firasat saya. Tiga hal yang mungkin tak berkaitan sama sekali, tapi pada akhirnya justru bersatu dalam simpul yang diciptakan seorang makhluk manusia bernama Wanita. Wanita yang bo’im alias bogoh ka imej. Dia yang gandrung citra. Lebih daripada ja’im yang hanya menjaga imej, bo’im melakukan segala hal untuk citra diri. Dia adalah Wanita yang merangsek masuk dalam lingkungan profesi, yang kemudian berteman syahwat dengan seorang pria dari sekumpulan tersebut. Lalu apa masalahnya? 

Masalahnya mulai tercipta saat ada invasi bernama iri dengki yang merasuk dalam sebuah persaingan yang sepenuhnya sakit kronis.

Sebuah persaingan yang kemudian menyebabkan lawan-lawannya tumbang karena sakit parah. Terlalu kebetulan jika sang Wanita beraksi menjalankan bisnis sampingannya saat orang yang ia tandai sebagai lawan utama jatuh sakit. Kebetulan pula jika sang lawan utama tersebut hanya sakit saat hendak mengais rezeki. Sebuah kebetulan yang lain jika kemudian sang Wanita lebih sering menghabiskan upahnya pada jeratan benda-benda bermerk internasional, padahal secara de facto, upahnya mungkin tak cukup untuk membayar gaya hidupnya yang serba hedon. Kebetulan pula bila di saat yang bersamaan sejumlah besar dewa muncul di dunia maya jajahan dewi Venus. Mereka adalah dewa pemanggul senjata rahasia super yang tak dimiliki rakyat manapun. Mereka adalah orang pilihan yang dibekali mantra Bhairawa Cakra. Kebetulan pula jika salah satu teman saya diajak turut serta menjadi dewa, dengan syarat mengirim upeti guna menebus senjata super. Kebetulan lainnya tercipta tatkala sang Wanita tiba-tiba mulai menarik diri dari peredaran, termasuk hendak hengkang diam-diam dari institusi yang menaunginya.
  
"Jika kebetulan-kebetulan terjadi terlalu banyak dan cocok satu sama lain, apakah kita tetap percaya bahwa itu adalah serangkaian kebetulan belaka? Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, apakah kita tetap percaya bahwa itu tidak bermakna? Jika itu terjadi, seorang ilmuwan akan mencari pola-pola. Dan seorang beriman akan mencari rencana Tuhan.”

Tapi saya buka seorang ilmuwan, juga belum berani untuk menyebut diri beriman. Meski demikian, saya tetap percaya mengenai pola-pola dari serangkaian kebetulan tersebut, termasuk berusaha memahami rencana Tuhan. Hingga kemudian tanda bahaya saya terbukti. Apa yang dulu saya khawatirkan menjadi nyata. Saat kebetulan terjadi terlalu banyak dan saling cocok, artinya masing-masing kita memiliki peran. Kini, satu demi satu peran mulai terkuak. Tapi ada satu hal yang masih belum mewujud, yakni rencana Tuhan. Untuk hal ini, biarlah tetap menjadi misteri. Karena misteri bukan teka-teki. Misteri adalah untuk dipendam dalam ruang rahasia di antara jantung dan hati. Rencana Tuhan bukan untuk diomongkan, tapi untuk dijalankan.

Salah satu bagian utama dari kebenaran memang telah terungkap, berkat usaha keras si penyuka Dr. Chopper. Tapi bagian lainnya masih menjadi teka-teki. Tentang keterlibatan si lelaki anggota perkumpulan atas tindak-tanduk Wanita-nya mengenai persaingan tak sehat, juga mengenai usaha sampingan yang tak bisa sepenuhnya disebut halal. Teka-teki bukan misteri. Ia masih dapat diotak-atik sampai kita menemukan jawaban yang pasti. Asalkan usaha pencarian jawaban tersebut tak menyenggol bagian sensitif mereka. Karena “setiap orang memiliki bagian sensitif yang tak perlu kita orak”. Mungkin saja si sensitif ini berkaitan dengan urusan rumah tangga yang berkutat pada perkara kasur, dapur, sumur, lalu kembali ke kasur dan selalu berputar di kasur. Atau bisa juga berupa sebuah kertas alat ukur dengan notasi garis satu atau garis dua. Tak ada yang tahu. Toh, keduanya sama-sama sensitif. 

Nyatanya, laku Wanita tak hanya merusak titik poros yang telah tercipta sebelum kehadirannya. Tapi juga mengganggu kebersamaan antar pria yang telah menjalin persahabatan sejak masa menimba ilmu sebagai siswa yang maha. Ya, hubungan antar pria ini tak lagi polos, tapi tegang seperti tali kolor yang ditarik kencang pada kedua ujungnya. Si Wanita bersalah, baik secara de facto maupun de jure.  Sedang lelakinya pun (mungkin) bersalah. 

Lalu, jika kemudian muncul Marja yang bertanya, “Bisakah kamu memaafkan mereka (atau salah satunya)?”
Saya hanya mampu mengembalikan pertanyaan yang sama padamu, “Kamu sendiri bisa memaafkan mereka (atau salah satunya)?”

Yang pasti, tak ada alasan bahwa dia (atau mereka) tak tahu apa yang dilakukan. Jelas, itu bukan alasan yang bisa begitu saja diterima. Karena dia (atau mereka) tahu pasti apa yang dilakukannya. Dan kita mungkin tak bisa mengampuninya. Karena manusia tak punya kapasitas untuk mengampuni. Barangkali hanya Tuhan yang mampu. Walau kita semua tahu ada dosa-dosa besar yang mungkin tak akan Tuhan ampuni. Barangkali, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah berdamai. Berdamai dengan sisi lain manusia yang tak kita mengerti. Berdamai dengan sisi gelap yang tak bisa kita kuasai. Barangkali karena itulah sisi lain mereka yang gelap bagi kita, yang tak pernah bisa kita pahami.

Setiap kita punya sisi gelap. Bahkan, bisa saja sisi gelap saya adalah sikap keengganan untuk berdamai dengan hal-hal tertentu yang menurut saya sudah tidak dapat ditolerir dengan alasan apapun. Lalu  bagaimana dengan sisi gelapmu?




cirebon

No comments:

Post a Comment