Tuesday, 25 January 2011

Lagi, Masih Tentang Rindu

Perkenalkan, namaku Rindu. Aku bersemayam dalam relung Hati pemilik blog ini. Aku meminjam raganya untuk mengungkapkan apa yang kurasa. Ya, tentang apa yang dirasa si Rindu ini. Cih, jangan bilang kau kaget mengetahui bahwa si Rindu ini pun bisa memiliki rasa. Jangan heran. Aku sama seperti kalian. Punya rasa, juga punya rindu. Meski tak punya raga yang fana tapi aku punya jiwa yang bergelora. Rasanya sudah cukup perkenalannya. Lebih baik segera kuselesaikan ungkapan rasa ini, sebelum si pemilik raga tersadar dari mimpi.

Duh, apa tadi yang ingin kusampaikan di sini? Ah ya, aku ingin mengeluarkan unek-unekku tentang rasa dan rindu dalam diriku. Maaf, aku masih harus beradaptasi untuk mengendalikan raga ini.

Nah, mari kembali pada hal yang ingin aku sampaikan karena sejujurnya, aku sangat ingin protes!

Aku ingin protes tentang degup kencang yang kerap melesakkan diriku hingga ke tulang-tulang rusuk. Tentang asinnya air yang kadang membanjiri rumahku. Juga tentang kesepian yang selalu hadir, layaknya iklan rexona: kapan pun, dimana pun.

Kau bayangkan saja. Aku ini laksana balon udara; bisa menggembung, tapi juga bisa menciut. Saat si pemilik raga ini sedang merasakan rindu, maka aku akan melesat membesar. Tapi ketika ia telah memuaskan rindunya, aku akan kembali menciut ke bentuk asalku. Sebesar apapun kemampuanku untuk membesar, tapi aku tetap tak bisa lebih besar dari ukuran rumahku, yakni si Hati. Dan aku yakin kau pasti jauh lebih tahu ukuran pasti dari si Hati. Aku pernah diberitahu Tuan Mata, tentunya dari deretan huruf yang dibacanya, ukuran Hati hanya sebesar kepalan tangan si pemilik raganya. Sekarang coba kau kepalkan tanganmu. Nah, itulah ukuran Hatimu. 

Apa? Kau bilang ukurannya kecil? Ya! Memang! Tapi bagiku, ukuran si Hati sangat-sangat kecil, apalagi jika dibandingkan dengan kewajibanku untuk menggembung mengikuti rindu yang dirasa si pemilik raga, yang SELALU melebihi ukuran si Hati. Bayangkan rasanya kalau kau harus menggunakan sepatu yang ukurannya jauh lebih kecil dari ukuran kakimu. Atau memakai pakaian berukuran S, padahal ukuranmu adalah XL. Belum lagi rumahku kerap kebanjiran dengan air asin. Tuan Mata kerap minta maaf padaku. Tapi kami sama-sama paham bahwa itu bukan salahnya. Mungkin juga bukan salah siapa-siapa. Rasa asin yang kucecap kerap mengingatkanku pada rasa sepi yang sering menemaniku. Lalu, apakah sekarang kau sudah sedikit lebih mengerti bagaimana rasanya jadi aku?

Aku tak sedang mengeluh. Tolong pahami itu. Aku hanya ingin jadi lebih lega. Tak lagi terhimpit oleh segala rasa rindu yang melesat ke segala arah. Aku pun tak bisa menyalahkan si pemilik raga. Toh, sebenarnya dia pun tak benar-benar bisa mengontrol rindu yang menyapanya. Rindu datang dan pergi tanpa diminta. Rindu berkehendak atas dirinya sendiri. Ia tak pernah mengizinkan ada hal lain yang mengaturnya, bahkan aku sekalipun.

Sekali waktu, aku pernah tergiur untuk mengetahui apa yang selalu dirindu oleh si pemilik raga ini. Aku memohon pada Tuan Mata untuk ikut mengintip dari ruangannya. Awalnya, Tuan Mata tak mengizinkanku. Katanya, ia takut aku akan merasakan hal serupa yang dirasa oleh pemilik kami. Kubilang, aku akan menanggung segala resikonya. Dan akhirnya Tuan Mata mau berbagi sedikit ruang untukku. Dan saat itulah, aku melihat penyebab rindu yang kerap melanda si pemilik raga. Kuakui, aku menjadi hilang kendali seketika. Tak kudengar lagi celotehan Tuan Mata yang mengomel panjang-pendek, berbicara tentang nasehatnya yang kuabaikan.

Berhari-hari setelahnya, aku laksana menyatu dengan pemilikku. Aku adalah si pemilik raga. Dan si pemilik raga adalah aku. Hingga akhirnya aku merasa diriku makin membesar. Ukurannya menjadi berlipat daripada sebelumnya. Kupikir, mungkin karena si pemilik raga diterpa rindu, dan aku, si Rindu pun merasakan hal yang sama. Kami merindu dendam. Dendam untuk melampiaskan rindu yang makin membuncah dari hari ke hari.

Dan kini, aku harus membuat diriku lebih lega. Karena dalam 2x30 hari ke depan aku harus melipatgandakan ukuranku. Mungkin lebih lebar daripada cangkangku. Ups, rasanya si pemilik raga mulai sadar. Sampai jumpa. Oh ya, kalau kau bertemu dengan Tuan Pembuat Rindu, tolong sampaikan salam rindu dariku juga dari pemilikku untuknya. Berikan kecup rindu kami untuknya, ya.  Ah, si pemilik raga makin mendekati kesadarannya. Aku harus menuntaskan hal ini. Izinkan aku untuk menyampaikan harapanku yang paling mutakhir ini:

Semoga kelak rindu sublim dalam narasi dan mimpi, lalu kembali mewujud dalam laku yang tak perlu ditirakatkan.



cirebon

No comments:

Post a Comment