Saturday, 22 January 2011

Falsafah Hidup Jawa

Dari beberapa falsafah Jawa yang bersliweran di sekeliling saya, salah satu yang paling mengena di hati adalah gegebengan yang diturunkan oleh RM Pandji Sosrokartono: "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake". Kalau belum akrab dengan nama ini, tapi pasti akan jauh lebih familiar dengan nama RA Kartini. Yep, sang pewaris falsafah tak lain adalah kakanda dari penulis kumpulan surat Habis Gelap Terbitlah Terang, tokoh emansipasi wanita Indonesia.
Sekarang, mari kita uraikan satu-persatu falsafah hidup tersebut.
Sugih tanpa bandha. Bisa juga diartikan dari kalimat lengkapnya 'rumangsa sugih senajan tanpa bandha', yang dapat dimaknai sebagai kaya sekalipun tak memiliki harta. Meski tak memiliki harta materiil, tapi tetap bahagia dengan apa yang dimiliki. Melalui falsafah ini, kita diharapkan bisa menjadi pribadi yang merasa 'kaya'. Menjadi manusia yang bangga atas dirinya sendiri, tidak merasa rendah diri sekaligus menerima kelebihan dan kekurangan dirinya. Manusia tidak hanya terpusat pada nilai materi atau keduniawian, tapi juga memiliki jiwa alias sukma. Manusia tak hanya dinilai dari kekayaan materi melainkan juga dari kekayaan jiwa dan hatinya.  Orang yang kaya hati bisa ditandai dari ketentraman jiwa dan pikirannya, sabar, ikhlas, tenang dalam menghadapi segala persoalan, juga senantiasa bersyukur kepada Tuhan.
Digdaya tanpa aji. Biasanya, digdaya dikaitkan dengan kehebatan tubuh; tahan pukul, tahan dari serangan senjata tajam, dll. Dengan kata lain, manusia dikatakan digdaya bila memiliki kesaktian atau memegang jimat. Digdaya yang dimaksud dalam falfasah yang dirumuskan RM Pandji Sosrokartono adalah perkasa sekalipun tidak memiliki jimat/aji-aji, tapi berkat keluwesan sikap. Jika kita memiliki sifat yang baik, tata krama yang unggul, juga mampu beradaptasi dengan lingkungan melalui perilaku 'dimana langit dijunjung di situ bumi dipijak' maka kita dapat meminimalisir musuh atau bahkan tidak memiliki musuh sama sekali. (walaupun nyatanya akan sangat mustahil untuk memiliki 0 musuh, sebaik apapun sifat kita). Semakin sedikit musuh, maka niscaya kita akan terhindar dari segala gangguan maupun serangan. Hidup pun akan menjadi lebih tenang dan nyaman. Hasilnya? Tanpa jimat pun kita akan perkasa dan luar biasa.
Nglurug tanpa bala. Dikatakan demikian karena pada dasarnya, manusia harus berperang setiap saat tanpa bisa membawa pasukan. Perang yang dimaksud adalah perang melawan 'diri sendiri' alias hawa nafsu, baik berupa nafsu amarah, nafsu ketamakan, kerakusan, ambisi, birahi, dll. Musuh paling berbahaya adalah diri sendiri. Pujangga terkenal Ki Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha mewariskan Tembang Sinom mengenai hawa nafsu, yakni: "Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni boya keduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja begjaning kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada". Terjemahan bebasnya adalah: "Memasuki jaman edan, merasa kesulitan cara menghadapinya. Mau ikut edan tidak tahan, kalau dikatakan tidak ikut edan kok kenyataannya ikut melakukan karena ada rasa keinginan, akhirnya kelaparan. Atas kehendak Allah, beruntungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada". Tembang ini ditujukan untuk para anak cucu agar tidak serta merta menuruti hawa nafsu yang kerap menggoda, tapi harus bertekad kuat mengalahkannya. Jika kita sudah dapat melawan hawa nafsu dan bisa menempatkannya pada posisi dan porsi yang tepat, maka dapat dikatakan bahwa kita telah menyerang meski tanpa membawa bala tentara dan menang perang. 
Menang tanpa ngasorake. Poin ini bisa pula dihayati dari Tata Krama Jawa, yaitu kita harus taat mengamalkan Nandhing Sarira, Ngukur Sarira, Tepa Sarira, Mawas Diri, dan Mulat Sarira. Bila kita sudah menyatu dengan tata krama tersebut, maka kita akan menjadi pemenang tanpa harus mengalahkan musuh karena kita sudah menjadi pribadi yang 'sareh', senantiasa 'eling', 'waspada', benar-benar mengenal diri sendiri, senantiasa mengutamakan kebaikan, menjunjung tinggi 'laku utama', dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Itulah, Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Kaya sekalipun tidak mempunyai harta, perkasa sekalipun tidak mempunyai aji-aji, menyerbu sekalipun tidak punya bala tentara, menang pun tanpa mengalahkan.
 
*Dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment