Kebudayaan Jawa sudah terkenal luas memiliki moralitas tinggi yang menjadi pendukung utama budaya. Moralitas tidak saja dapat dilihat dari sisi psikologis dan historis, melainkan juga merupakan cerminan sikap hidup dan budaya yang lebih menyeluruh. Demikian pula dalam kultur Jawa, ada hal yang dianggap sebagai tonggak budaya dalam memperjuangkan tingkat hidup yang lebih tinggi yaitu moral "Mawas Diri" atau lebih kita kenal dengan sebutan "Introspeksi".
Melalui sejumlah kajian dan pembelajaran, Mawas Diri dapat dikatakan mewakili dasar pembentukan dan pelestarian "Tata Krama Jawa", yang terdiri dari:
1. Nandhing Sarira
Nandhing sarira merupakan yang paling rendah dalam pengkajian diri, karena masih mengutamakan "aku" yang egosentrisme. Nandhing sarira dapat diartikan bahwa kita masih suka membanding- bandingkan "aku" dengan orang lain. "Aku" harus terlihat lebih unggul, lebih baik, lebih terhormat, lebih mulia, lebih bergengsi, dll. Ujung-ujungnya kita berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang "ter", apabila secara positif dikaji dan dipikirkan, kemudian diambil hikmah terbaiknya maka nandhing sarira ini dapat digunakan untuk melihat sisi baik orang lain yang lebih tinggi dari kita. Bukan berarti kita harus selalu membanding-bandingkan diri kita dan keluarga kita dengan orang lain, tapi menjadikan keberhasilan orang lain sebagai motivasi agar kita dapat lebih bersemangat meningkatkan kreativitas, menggali potensi diri, dan mencapai standar yang lebih tinggi dalam kehidupan.
2. Ngukur Sarira
Ngukur sarira yakni kita harus bisa melihat dan menerima kelebihan orang lain. Melihat kelebihan orang lain secara positif untuk kita jadikan barometer dan motivasi agar secara dewasa lebih berjuang untuk meraih kemajuan dalam hidup.
3. Tepa Sarira
Tepa sarira (tepa slira) diartikan sebagai sikap mau merasakan perasaan orang lain. Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama mengilustrasikan sikap tepa sarira dengan mencontohkan kepribadian Panembahan Senopati ing Mataram yang "karyenak tyase sesama" yang artinya adalah membuat enak, senang, dan damai perasaan sesama manusia. Apabila hal ini benar-benar kita kaji dan terapkan secara positif maka kita akan jauh dari sifat usil, licik, menyalahkan orang lain dalam bentuk apapun, iri dan dengki, dll. Apabila kita dapat menerapkan tepa sarira ini maka kita akan memiliki rasa kepedulian, positive thinking, akan selalu membahagiakan dan menyenangkan perasaan orang lain, dan kita berusaha menempatkan diri pada perasaan orang lain sebelum bertindak sesuatu.
4. Mawas Diri
Menurut Darmanto Jatman (1977), dalam wilayah ilmu Psikologi, mawas diri merupakan kegiatan manusia untuk menembus ke dataran religius etis. Mawas diri dimulai sejak kita melihat kebahagiaan dan kesusahan diri sendiri, melihat keadaan diri sendiri secara jujur. Melihat dan mengoreksi diri kita sendiri agar dapat lebih mengerti bagaimana hati nurani kita, sehingga kita lebih bertanggung jawab atas apa yang akan kita lakukan. Mawas diri dimaksudkan agar kita terhindar dari sikap semena-mena alias mau menang sendiri. Orang yang mawas diri harus dapat mengontrol pembicaraan, sikap, dan tingkah laku terhadap orang lain, sehingga dari sikap dan perkataannya tidak menyakiti orang lain. Bagaimanapun, diri kita adalah "bukan siapa-siapa" dan "bukan apa-apa" di mata Tuhan, maka kita tidak berhak berbuat yang dapat menyakiti hati orang lain.
5. Mulat Sarira
Seperti yang dikatakan oleh Darmanto Jatman (1977), apabila kita telah berhasil meneliti diri sendiri secara tuntas, maka kita akan mencapai tingkatan tertinggi yakni mulat sarira. Mulat sarira dapat digambarkan sebagai 'manusia tanpa ciri' atau menemukan jati dirinya yang universal, karena seseorang yang telah mengetahui bahwa 'aku' sebenarnya bukanlah aku, sebagai orang yang tidak dapat mengumbar nafsu sesuka hati. Melakukan segala hal harus ada batasan dan keprihatinan yang mendalam. Pelaksanaan secara positif dari puasa, tapa, semedi juga merupakan salah satu bentuk sikap mulat sarira. Mulat sarira melihat ke dalam diri sendiri, bahwa semua ketidakbenaran sebenarnya bermula dari diri sendiri. Soenarto dalam bukunya Serat Sasangka Jati menyebutkan, pengenalan diri dapat dilakukan dengan lima lelaku utama, yaitu Rila, Narima, Temen, Sabar, Budi Luhur.
Demikianlah, orang yang berkepribadian dewasa dan matang dapat melihat, mengetahui dan mengenali diri pribadi lebih dalam lagi. Sikap dan pemikiran dewasa dapat membawa manusia pada keunggulan pribadi. Juga dapat dipastikan manusia akan lebih dapat memaknai hubungannya dengan Tuhan yang Maha Esa, sehingga akan dapat terwujud "barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya". Dan "barang siapa mengenal Tuhannya, ia akan menjadi 'bodoh'".
*Sumber: Heritage of Java