Tuesday, 29 November 2011

rindu jadi kesumat!

demi tuhan, aku tak tahan!
aku rindu.
aku ingin lekas bertemu.
demi tuhan!
benar-benar sudah tak tahan.
jika saja esok sudah jumat,
agar 
rindu 
tak 
jadi 
kesumat!



Saturday, 26 November 2011

janji dibawa mati

menunggu orang menepati janji, yang sudah lewat sehari.
eits, kamu tak bisa lari.


karena hutang dibawa sampai mati.






*)based on true story. tentang pria yang (mungkin) sedang (mencoba) lari dari janji.

Friday, 25 November 2011

Epilogue: Reminiscence and Future’s Wish


3 Years Later


Pagi yang cerah di Port Lux. Aku memasukkan 3 setel pakaian yang baru saja selesai dicuci ke dalam tas dan bersiap-siap untuk pergi.

“Heeei, udah siap nih ceritanya?”, ujar Nydia yang baru saja memasuki kamar.
“Yah, begitulah…”, jawabku sambil tersenyum simpul.
“Siiiippp… Emmm, tapi kamu yakin enggak mau tinggal lebih lama lagi? Baru juga 3 hari. Kamu enggak betah ya nginep di rumah baru aku?”, wajahnya menyiratkan sedikit kekecewaan.
“Lah, bukan gitu. Kalo bisa sih justru aku pengen di sini terus. Rumah kamu bagus, tempatnya juga enak banget. Tapi mau gimana lagi… Aku harus balik ke Tower of Sage hari ini, dan hari ini cuma ada pagi-pagi kan jadwal kapalnya. Maaf yaaa, hehe.”
“Hmmmhh. Ya udah deeeh… Salam buat Raydic sama Stevaroz ya. Bilangin mereka harus dateng ke sini minggu depan. Sok-sok sibuk banget sih, pake alibi banyak kerjaan segala. Huh!”
“Ahahaha. Iyaaa nanti aku bilangin deeh. Makasih banyak ya, Nyd.”
No probleeemMakasih banyak juga udah dateng ke sini, hehe. Nanti kalo kalian bisa dateng bertiga, kita pesta-pesta deeh. Hehe.”
“Ahahaha, bereeeess.” Kali ini kuacungkan dua jempol padanya.

Final Chapter: Fragments of Dreams (2)


“Vai….”

“Vai…….!”

“Vaaiii………!!”

Aku berusaha membuka mata, namun terasa sangat berat. Terangnya cahaya lampu seakan memaksaku untuk memejamkan mata kembali. Mataku serasa tak bersahabat dengan cahaya, seolah memang sudah lama sekali tidak melihatnya. Namun kupaksakan membuka kelopak mata, sambil berusaha membiasakan diri dengan pijar lampu tersebut.  Samar-samar sesosok bayangan buram muncul. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya kelopak mataku membuka sempurna. Bayangan itu kini nampak jelas menjelma.

“Akhirnya kamu sadar Vaaaii…”

Kudapati diri sedang terbaring di atas tempat tidur dalam ruangan yang melepaskan aroma desinfektan. Sepertinya ini ruangan rumah sakit. Selang infus melekat erat pada tanganku. Beberapa kabel lain simpang-siur di tubuhku, ujungnya bermuara pada electro-cardiograf, electroencephalogram, dan alat-alat lain yang tak kukenal namanya. Di sisi kiri kulihat sebuah alat bantu pernapasan yang sepertinya baru saja dicabut. Maskernya tergantung asal pada rangka tabung oksigen. Seorang suster sibuk memencet tombol-tombol alat-alat di sekelilingku. Tangannya yang lentik kini mulai menggerayangi tubuhku, memeriksa tanda-tanda kehidupan. Nydia yang berada di samping kanan memandangku sambil menangis terharu.  

“Kamu udah hampir 4 bulan koma, Vai. Tadinya kami udah pesimis banget. Tapi akhirnya Tuhan ngabulin doa kami. Aku seneeeeng bangetttt”, ujar Nydia seraya menyeka air matanya. Sebentuk senyum menyembul dari bibirnya.

Aku pun ikut tersenyum melihatnya, sekaligus bersyukur. Perasaan yang mungkin dirasakan jika ditakdirkan untuk masih dapat bernapas dan hidup, padahal beberapa saat sebelumnya kematian sudah hampir tak berjarak. Kupejamkan mata dan menghela nafas lega. Namun cepat-cepat kubuka mata kembali karena menyadari sesuatu yang aneh. Nydia memakai setelan Wizard berwarna ungu cerah: seragam Konfederasi Capella!

“Nydia, kamu kok pake seragam Capella?”
“Eh, bicara apa sih kamu? Aku kan dari dulu emang di Capella. Ihh, kamu ngelindur ya gara-gara udah tidur 4 bulan? Ahahaha…”

Tentu saja aku kaget mendengar jawabannya. Aku menoleh ke Stevaroz yang ikut tertawa, juga memakai seragam Capella. Namun yang lebih mengherankan adalah orang berseragam Capella di samping Stevaroz. Di situ Raydic berdiri tegap sambil tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.

“Raydic? Gimana bisa, bukannya kamu udah…”
“Aku udah apa?”

Mulutku kini terkatup. Aku hanya bisa bengong dan terheran-heran melihatnya.

Gimana dengan Nitemare dan Silverwood?”, tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke arah Stevaroz.
“Hah? Nitemare dan Silverwood? Siapa itu?”
“Sage Vell, Linsley, dan yang lainnya? Dimana mereka?!”, tanyaku tak sabar.
“Duh, siapa sih itu? Ah, kayanya kamu masih pusing deh. Istirahat dulu aja. Wahahaha…”, jawab Stevaroz.

Aku kembali terdiam mendengar jawaban tersebut.

Kali ini aku mengarahkan pandangan ke Nydia, dan menyebutkan nama si gadis berambut merah sambil berharap-harap cemas.

“Dimana dia?”
"Siapa pula itu? Beneran kayanya kamu masih pusing terus jadi suka ngelindur. Mungkin karena baru sadar setelah koma 4 bulan kali ya? Apa perlu aku panggil lagi suster yang tadi?”

Kali ini rasanya benar-benar sedih dan kecewa mendengarnya…

“Kamu bilang, berapa lama tadi aku koma?”
“Hampir 4 bulan, kenapa gitu?”

Kejadian yang dimulai dari sebelum misi NightScream sampai perang terakhir di markas besar Procyon pun berlangsung selama hampir 4 bulan...

Aku segera mencabut selang infus dan turun dari tempat tidur, lalu melangkah secepat mungkin ke kamar mandi di sisi kiri ruangan.

“Hei, heiii... Mau kemana kamuuu? Jangan banyak gerak duluuu”, tukas Nydia cemas sambil menghampiri ke kamar mandi. Raydic dan Stevaroz menyusul di belakangnya.

Aku melihat bayanganku di cermin kamar mandi tersebut…

“Hei, kamu kenapa sih, Vai?”

Kedua bola mataku berwarna hitam kecoklatan…

“Oi oiiiii.. Kamu kenapaaaa? Udah sana ke tempat tidur lagi.” Kali ini Stevaroz yang bersuara.

Berarti benar…
Mungkin semua itu hanya sebuah mimpi panjang…

Final Chapter: Fragments of Dreams (1)


Gelap…
Aku tidak bisa melihat apa-apa… Badanku pun mati rasa…
Apa aku sudah mati…?




Tidak!!

Aku berusaha membuka mata sambil berdiri dengan susah payah. Tubuhku penuh dengan luka, dan sepertinya beberapa tulangku patah. Tapi rasa sakitnya tidak seberapa dibandingkan sensasi mendidih pada organ dalamku akibat luka tusukan hellfire blade milik Nitemare. Nafasku terasa sangat berat. Pandanganku masih kabur. Lamat-lamat sebentuk ruangan mulai tergambar di mataku, atau tepatnya ruangan yang rusak parah akibat ledakan. Langit-langitnya koyak. Puing-puing reruntuhan berserakan di mana-mana. Kulihat sebuah bola kristal melayang rendah di atas altar yang masih berdiri angkuh di bagian depan ruangan. Hanya dua benda itu yang masih berbentuk utuh. Sangat kontras dengan sekelilingnya yang hancur lebur. Kristal itu memancarkan cahaya merah dan hitam bergantian. Mataku terbelalak. Bola kristal itu, Drosnin’s Eye!

Sontak mataku segera mencari sesuatu di antara taburan debu-debu reruntuhan; atau tepatnya seseorang. Nitemare. Kudapati ia berada di depan tempatku berdiri. Tak persis berhadapan memang, jarak antara kami dibatasi sebuah dinding kaca yang sudah buram dan retak disana-sini. Ia masih berusaha bangkit seraya memegang kepalanya. Kondisinya tak jauh berbeda denganku, torehan luka juga mengambil banyak tempat di tubuhnya. Satu sama. Kini kami sudah sama-sama berdiri tegap. Kedua bola matanya yang merah menyala memandangku. Cairan merah perlahan meleleh dari sudut mulutnya. Kupastikan, seal of damnation milikku juga berhasil menggempur organ dalam miliknya. Dia mulai menyeringai sambil tertawa sinis.

“Hey, kau  yakin mau melanjutkan ini semua, kakak? Kau mungkin sudah bosan mendengar ini, tapi kuingatkan sekali lagi, untuk yang terakhir kali. Tak akan ada yang menang atau kalah dari pertarungan ini. Ingat, kita adalah kembaran yang sama-sama menerima kekuatan Drosnin’s Eye! Jika salah satu dari kita mati, maka yang satunya pun akan kehilangan nyawa dalam sekejap!”

Aku berusaha mengacuhkan ocehannya demi mengulur waktu selama mungkin untuk mengumpulkan tenaga. Tapi kata-katanya tentang kembaran membuatku kehilangan kesabaran.

“Cih! Aku tidak ingat kalau punya kembaran orang gila sepertimu. Kamu itu cuma kloningan yang dibuat dari DNA-ku, tidak lebih. Dan lucunya, kelihatannya memang kamu yang takut mati. Rupanya kloningan bisa takut mati juga, hah?”, ejekku sambil menyeringai, persis seperti dia.

“Ahahahahahahaha…”

Derai tawanya membahana. Nitemare nampak sangat puas.

“Ternyata kamu memang benar-benar kakakku!!”

Raut wajahnya sekarang menyiratkan nafsu membunuh yang sangat besar.

Ruangan bawah tanah itu kembali bergetar. Puing-puing dari langit-langit kembali berjatuhan. Semoga saja Stevaroz, Linsley, dan yang lainnya bisa keluar dari sini dengan selamat.

Dengan susah payah, kucoba memfokuskan kembali pikiran sambil mengumpulkan force di tangan kiriku dengan sisa-sisa tenaga. Force terkumpul lebih lama dari biasanya, namun perlahan tapi pasti, muncul aura api berwarna biru tua di telapak tangan kiriku. Tak ingin buang-buang waktu, segera kumasukkan force api tersebut ke pedang, membuatnya seketika menjadi fireblade dengan nyala api biru tua. Kulihat Nitemare juga melakukan hal yang sama, hanya saja force api pada pedangnya berwarna hitam pekat.

Nafasku masih terasa sangat berat. Kutarik nafas panjang dengan menahan nyeri di sekitar tulang rusuk.

Ini yang terakhir…
Untuk masa depan Nevareth, di mana dia dan semua orang yang berharga bagiku hidup…
Juga untuk diriku sendiri…

“Hehehe… Kakak, jika kamu memang sangat ingin bertempur denganku, akan kukabulkan sekarang juga!!”

Nitemare berlari sambil menghunus pedangnya. Aku beserta fireblade­ku pun segera menyambutnya.

…………….
…………….
…………….



*)Based on my @CABALIndonesia's character. Written by an old friend. Edited by me.

Chapter 2 – I Have Watched The World Die, All I Know Now Is Regret (4)

Bloody Ice – Ruang Legacy Weapon, 17.00 PM


Setelah berjalan cukup lama, akhirnya aku tiba di ruangan Legacy Weapon. Ruangan itu lebih besar daripada ruang briefing, dengan ratusan tabung dari besi berwarna hijau tua, ditopang tiang berwarna serupa yang menempel pada lantai dan langit-langit ruangan. Bagian tengah dari tiang tabung tersebut terbuat dari kaca, di dalamnya terdapat Legacy Weapon yang berbentuk kubus hijau. Di bagian bawah tabung terdapat control panel  dengan keyboard dan banyak tombol. Di puncak tabung tertera kombinasi  huruf dan angka berwarna putih. Nampak sejumlah anggota Divisi II dan IV serta orang-orang dengan jas putih mondar-mandir di ruangan itu. Kulihat beberapa tiang tabung sudah kosong. Rupanya cukup banyak pasukan yang sudah mengambil Legacy Weapon.

Di sekeliling ruangan, orang-orang berjas putih lainnya duduk berderet di depan ratusan control panel dan beberapa monitor besar. Di kepalanya terpasang headphone yang dilengkapi dengan microphone built in. Beberapa diantaranya sedang menginstruksikan kode-kode lewat headphone-nya. Merekalah  orang yang berperan dalam pembuatan dan perawatan semua Legacy Weapon yang kami pakai.

Aku pun bergegas menghampiri salah satu orang berjas putih—biasa disebut Asisten LW—yang sedang berdiri mencatat sesuatu di note-nya.  Menyadari kehadiranku, dia segera menyapa dan memasang earphone ke telinganya.

“Ah, Great Officer Vaizard ya. Mari, tabung E32 nampaknya belum ada yang mengambil”, ucapnya ramah.

 Dia segera berjalan mengarahkanku ke tabung yang di atasnya tertera tulisan E32. Semua asisten LW memang diharuskan untuk selalu ramah pada semua pasukan, termasuk kepadaku.

Asisten LW itu menarik sebuah kabel dari control panel di tabung E32 dan menempelkan bagian ujungnya pada pergelangan tangan kananku. Setelah itu dia mulai mengetikkan sesuatu dengan cepat di keyboard sambil mendengarkan instruksi dari earphone.

“Hmm… Gelombang force Anda nampak stabil. Saya akan mulai synchronization”, jelasnya.

Tak butuh waktu lama, proses synchronization selesai. Bagian kaca tabung pun terbuka, kemudian asisten LW melepaskan kabel  di tanganku. Aku pun segera menyentuh Legacy Weapon itu. Sedetik kemudian, Legacy Weapon mengeluarkan pancaran sinar hijau muda terang lalu berubah menjadi sebuah blade yang mengeluarkan cahaya merah. Aku mengambil blade tersebut dan berjalan ke luar ruangan.

“Semoga Anda beruntung di medan perang”, ujar si asisten LW begitu aku berjalan menjauh.

Chapter 2 – I Have Watched The World Die, All I Know Now Is Regret (2)


Beberapa lingkaran berwarna kuning terang langsung muncul dari kakiku, lalu bergerak naik ke kepala. Ketika tubuhku sudah berada di dalam lingkaran kuning tersebut, seketika itu juga pandanganku menjadi gelap, disertai munculnya ribuan bintik putih laksana bintang yang mulai terbang kesana kemari dengan amat cepat. Kupejamkan mata dan mulai menahan nafas. Saat warp, udara disekelilingmu akan menjadi hampa sejenak. Kalau nekat, bisa dipastikan kau akan panik karena sulit bernapas. Beberapa detik kemudian semua kembali ke normal, dengan lobby utama markas besar di depan mata.

Seorang anggota Konfederasi muncul di sebelahku, ia baru saja melakukan teleports in ke markas besar seperti yang baru saja kulakukan. Dari ekspresinya, ia pasti belum terbiasa dengan sensasi unik yang muncul saat melakukan warp. Dia berdiri dengan limbung, kemudian terbatuk-batuk lalu mengerjap-ngerjapkan matanya. 

“Kalau saja tadi dia memejamkan mata dan menahan napas sewaktu warp, pasti dia tak akan kaget seperti sekarang. Ah, dia harus membiasakan diri dengan ini”, pikirku.

Aku menoleh sedikit ke belakang, di sana ada warp tower yang ukurannya puluhan kali lipat lebih besar daripada warp tower di lobby asrama yang baru saja kugunakan. Lobby utama markas besar memang jauh lebih besar dan megah daripada lobby asrama, tentu saja, apalagi dengan beragam bentuk ornamen kaca berwarna biru di berbagai tempat. Tapi tetap tak ada yang seindah patung lambang Procyon di bagian tengah lobby utama. Setiap bagiannya dibentuk dari kristal biru yang berkilauan saat terkena cahaya.

Tak mau terus terpaku menikmati kristal-kristal biru tersebut, aku segera beranjak ke pintu koridor menuju ruang briefing. Selagi berjalan, untuk beberapa saat pandanganku sempat teralihkan ke arah utara, tempat tangga raksasa yang dihiasi karpet biru hitam indah dengan motif keemasan di sekelilingnya dan lambang Konfederasi Procyon di tengahnya. Di ujung tangga itu terdapat gerbang besar yang juga berwarna biru hitam dengan lambang Procyon di tengahnya. Di depan gerbang tersebut berdiri dua Guardian dari Divisi I. Divisi I adalah divisi pertahanan utama yang dipimpin oleh Bringer Force Shielder. Gerbang tersebut menuju area pribadi Sage Procyon, dan hanya boleh dimasuki oleh Guardian, pemimpin Divisi I, Bringer Warrior, dan Sage Procyon sendiri.

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya aku sampai di depan pintu baja menuju ruang briefing. Begitu pintu otomatis itu terbuka, terlihat ruangan besar dengan puluhan orang duduk di kursi besi berbentuk balok. Di depannya terdapat meja balok, juga dari besi, lengkap dengan tiga laptop kecil di atasnya. Nampaknya yang mengikuti briefing tersebut hanya anggota Konfederasi yang berpangkat Officer. Kemudian terdengar suara perempuan menyapaku lembut.

“Lho, tumben sekali kau terlambat Vaizard. Kau tak terganggu lagi dengan vertigo di kepalamu, kan? Ayo cepat cari tempat duduk kosong. Nanti akan ku jelaskan hal apa saja yang kamu lewatkan”, celoteh perempuan itu.

Dia Storm Bringer Force Blader Lucivera, pemimpin Divisi IV. Dia kemudian berjalan ke depan ruang briefing, membelakangi  layar monitor berukuran besar. Layar tersebut menampilkan peta dan detil kontur wilayah sekitar markas Capella di Desert Scream. Bringer Lucivera berambut panjang sepinggang berwarna hitam sedikit kebiruan, dengan eye shadow biru gelap. Wajahnya nampak masih muda, cantik, dan terkesan keibuan. Bringer Lucivera terkenal sebagai bringer yang paling baik terhadap bawahan dan jarang sekali marah. Kalau kuingat, bahkan aku belum pernah melihatnya membentak siapapun. Aura yang terpancar dari dirinya terasa tenang dan damai, berbeda 180 derajat dengan orang di sebelahnya.

Di sebelah Bringer Lucivera berdiri seorang lelaki tinggi tegap dengan badan berotot paling besar se-Konfederasi. Nampak tattoo menyembul di lehernya yang besar. Jika dia membuka armornya, akan terlihat tattoo menyeramkan yang memenuhi punggung dan kedua lengannya. Kudengar tattoo di tangan kirinya terdiri dari ratusan kombinasi angka, yang menandakan berapa banyak musuh yang sudah ditebasnya. Rambutnya spiky berwarna putih. Di wajahnya terdapat beberapa luka akibat perang, membuat wajahnya makin terlihat garang. Laki-laki itu adalah Bringer Warrior Zeraphiel, pemimpin Divisi II. Orang yang disebut-sebut sebagai ksatria terkuat di Konfederasi Procyon, sekaligus tangan kanan Sage Procyon. Dia berdiri seraya melipat kedua tangan di dada dan menatap tajam ke semua orang di dalam ruangan. Tatapan matanya sangat tajam dan mengerikan, tidak seorangpun berani balas menatapnya. Mungkin, dialah satu-satunya pemilik tatapan yang paling ditakuti se-Konfederasi dibandingkan tatapan mataku yang bagai iblis.

“Vaizard, ayo cepat duduk. Aku mau melanjutkan briefing”, tegur Bringer Lucivera.

Rupanya gantian aku yang diperhatikan oleh Bringer Lucivera. Aku pun berhenti memperhatikan Bringer Zeraphiel dan langsung menoleh kesana kemari mencari tempat duduk kosong. Kulihat Raydic dan Nydia duduk bersebelahan, tetapi tempat duduk di samping mereka sudah terisi. Raydic seorang Force Shielder berambut hitam cepak, sedangkan Nydia Wizard berambut biru pendek sebahu.

Aku melihat seseorang yang menunjuk tempat kosong di sebelahnya. Dia adalah Great Officer Linsley dari Divisi IV. Seorang Force Blader berambut kuning panjang diikat, orang kepercayaan Bringer Lucivera. Hanya Bringer Lucivera dan Linsley-lah orang dari divisi lain yang cukup ramah padaku dan tak segan mengajakku berbicara. Aku pun bergegas menuju ke tempat duduk di sampingnya.

“Hari yang cerah untuk berperang, eh?” ujar Linsley sambil tertawa kecil ketika aku sudah duduk di sampingnya.

“Yah…” jawabku singkat tanpa berniat melanjutkan percakapan.

Kupandangi laptop di depanku, tapi bisa kurasakan Linsley masih memandangku sambil tersenyum. Bringer Lucivera melanjutkan briefingnya, tetapi aku hanya memandang kosong ke laptop di depanku untuk waktu yang cukup lama. Display di monitor laptop berubah-ubah mengikuti display monitor besar di depan ruang briefing. Tak ada yang benar-benar kuperhatikan, kecuali kalimat Bringer Lucivera sesaat sebelum menyudahi briefing.

“Seperti yang kalian tahu, berdasarkan komando Sage Procyon, misi kali ini hanya melibatkan Divisi II yang dipimpin Zeraphiel dan Divisi IV yang dipimpin olehku. Tapi Vaizard, Raydic, dan Nydia, 3 Officer dari Divisi III akan ikut membantu kita. Mereka diperbolehkan memberikan instruksi bagi anggota Divisi II dan Divisi IV yang berpangkat Supreme Gladiator ke bawah, jika kalian kehilangan kontak denganku, Zeraphiel, atau para Officer dari Divisi II dan IV”, tegasnya.

“Hmmph… Dan aku tidak akan membuang-buang waktu untuk memberikan instruksi pada siapapun.”

Bringer Zeraphiel menimpali dengan suara yang lantang namun terdengar sangat dingin.

“Karena banyak orang lemah yang terluka dan harus dirawat akibat peperangan yang lalu, jumlah total Divisi II dan IV pada misi kali ini hanya sekitar 600 orang. Sedangkan menurut mata-mata kita, jumlah Capella yang ada di Desert Scream diperkirakan mencapai 1000 orang. Kita outnumbered. Karena itu kita sengaja melakukan night raid sambil menunggu musuh lengah, agar kita memeroleh keuntungan di medan perang. Sage Procyon sudah mempercayakan misi ini pada kita, maka orang yang berani menyia-nyiakan kepercayaan Sage Procyon, tentu akan dijawab oleh pedangku!“ ancamnya seraya menggenggam hulu pedang.

Kalimat  terakhirnya sudah kudengar ratusan kali, sehingga membuatku hampir muntah karena muak. Tapi Zeraphiel memang tidak segan-segan untuk menghukum bawahannya sendiri. Tak lama kemudian, Bringer Lucivera pun mengakhiri briefing.

“Usai briefing, harap kalian segera menginstruksikan bawahan masing-masing untuk bersiap dan mengambil Legacy Weapon. Pukul 18.00 PM semua pasukan bersiap di base camp Desert Scream dengan astral bike masing-masing. Meskipun kita kalah jumlah, tapi aku berharap kalian tetap mengeluarkan kemampuan terbaik kalian, dan semoga korban di pihak kita dapat diminimalisir. Aku berdoa untuk keselamatan kita semua. Kode untuk misi kali ini adalah: NightScream. Briefing selesai.”

Aku segera berdiri dan menghampiri Bringer Lucivera untuk mendengarkan instruksi yang kulewatkan.






*)Based on my @CABALIndonesia's character. Written by an old friend. Edited by me.

Chapter 2: I Have Watched The World Die, All I Know Now Is Regret (1)


Bloody Ice - Pusat Militer Procyon, 15.50 PM


Menjelang misi penyerangan ke markas Capella, aktivitas di koridor asrama menjadi lebih ramai daripada biasanya. Sage Procyon telah mengumumkan bahwa misi ke Desert Scream kali ini hanya melibatkan Divisi II dan IV, namun divisi lain tetap harus bersiaga untuk mengantisipasi serangan balasan ke markas besar. Apalagi beberapa minggu lalu markas besar diserang habis-habisan oleh pasukan Capella. Anggota Konfederasi Procyon dari berbagai divisi tampak hilir-mudik, sibuk mempersiapkan diri masing-masing. Mereka berjalan cepat-cepat dengan langkah tegap, selayaknya seorang ksatria Procyon sejati. Sesekali kulihat mereka berhenti sejenak untuk sekedar mengucap salam atau memberi hormat saat berpapasan dengan atasan. Tapi tetap saja hanya sedikit yang berani menyapa atau memberi salam padaku, meskipun aku adalah seorang Great Officer—pangkat ketiga tertinggi di bawah Sage Procyon. Cih, persetan dengan segala salam dan hormat!

Sambil berjalan, kupandangi lagi orang-orang yang lalu-lalang di sekitarku. Sebagian besar tampak tegang dan menggeretak-geretakkan gerahamnya. Membuat wajah tegang mereka makin terlihat nervous. Ah, mereka pasti orang-orang yang baru bergabung dengan Konfederasi, dan ini pasti misi besar pertama mereka. Sedangkan anggota lainnya kulihat tampak sibuk memakai seragam perang sembari berlari-lari kecil. Kutahan tawa saat kulihat beberapa anggota yang hampir jatuh tersandung jubahnya sendiri. Coba kutebak, sebentar lagi mungkin akan ada yang saling menabrak.

Duk!

Chapter 1: Eyes Set To Kill - Prolog (2)


Aku terperanjat bangun dari tidurku. Nafasku terengah-engah. Peluh bercucuran dari tubuhku. Kubenamkan wajah ke kedua telapak tanganku. Aneh. Lagi-lagi mimpi aneh itu. Seminggu ini selalu mimpi yang sama. Berkali-kali. Mimpi ingin menjadi seorang Capella, eh? Yang benar saja. 



Aku Vaizard, seorang force blader berpangkat Stormy Great Officer. Seorang ksatria Ace dari Konfederasi Procyon. Mana mungkin aku ingin menjadi seorang Capella, musuh bebuyutan dari konfederasiku sendiri? Benar-benar tak habis pikir.


Ketukan di pintu kamar menyadarkanku dari lamunan tentang mimpi tersebut. 

“Vaizard...” terdengar suara dari balik pintu. Dari suaranya, sepertinya Great Officer Raydic lah yang barusan mengetuk pintu. 

“Yaa…” sahutku agak malas-malasan.

“Oh, maaf kalau aku mengganggu. Aku hanya ingin mengingatkan, briefing sebelum misi menyerang Base Capella di Desert Scream dimulai pukul 16.00. Yah, santai saja, waktunya memang masih cukup lama. Tapi sebaiknya kau jangan tidur terus, Vai. Hahaha,” ujar Raydic. Tawanya membahana sampai ke dalam kamar.

“Ya, akan kuingat itu,” jawabku, masih agak malas-malasan.

“Kalau begitu aku duluan,” ucapnya.

Kudengar langkah kaki menjauh, lamat-lamat terdengar Raydic mengobrol dengan seorang perempuan. Dari suaranya, perempuan itu pasti Officer Nydia. Aku, Raydic, dan Nydia sama-sama tergabung dalam Divisi III yang dipimpin oleh Storm Bringer Blader Stevaroz. Divisi III merupakan salah satu divisi penyerangan utama. Meskipun sudah 4 tahun berada dalam divisi tersebut, namun hanya Raydic dan Bringer Stevaroz yang sering mengobrol denganku. Nydia memang pernah, tetapi sangat jarang. Anggota Divisi III lainnya bahkan tidak pernah sekalipun menyapaku selama 4 tahun ini. Alasannya sudah jelas, tentu saja. 

Aku beranjak ke kamar mandi, dan menatap cermin di atas wastafel. Rambut hitamku yang bergelombang sebahu terlihat sedikit acak-acakan. Tapi aku tidak peduli. Yang selalu kulihat dari bayanganku yang terpantul pada cermin tersebut adalah sesuatu yang paling kubenci dari diriku. Sesuatu yang membedakanku dari orang lain. Sesuatu yang membuat orang lain enggan mendekatiku. Jangankan menyapa, melihatku pun mereka enggan

Semua ini berkat kedua mataku. Tepatnya pupil mataku yang berwarna merah darah. Mata yang seolah-olah dibuat untuk membunuh. Hanya untuk membunuh.

Orang yang melihatku sudah pasti dibuat ketakutan oleh mata ini, mungkin karena terlihat begitu menyeramkan mirip setan. Terlebih lagi, karena kemampuan yang dimiliki mata ini. Kemampuan yang disebut Sage Procyon sebagai sebuah anugrah. Baginya, kemampuan seperti ini memberikan keuntungan yang luar biasa di medan perang, apalagi bagi seorang force blader. Tetapi tidak bagiku. Kemampuan ini sama halnya seperti sebuah kutukan yang menakutkan. Apalah gunanya memiliki kekuatan yang luar biasa di medan perang jika itu justru membuat seluruh dunia menjauhimu?

Ya, mata ini dapat mengeluarkan hampir semua debuff yang kupelajari sebagai seorang force blader secara instant. Mulai dari guard break, field of enervation, sampai mana freeze, kecuali execration. Semuanya dapat kukeluarkan secara instant; beberapa debuff sekaligus dalam sekejap hanya lewat kontak mata dengan target. Tidak perlu repot-repot mengumpulkan force di tangan kiri terlebih dahulu seperti yang harus dilakukan force blader lainnya. Musuh yang mengetahui kemampuanku selalu berusaha untuk tidak melakukan kontak mata denganku, namun terkadang upaya itu justru membuat mereka hilang konsentrasi saat berperang. Untungnya aku bisa mengontrol kekuatan ini, sehingga tidak semua orang yang menatap mataku akan terkena efek negatif tersebut. 

Mungkin kemampuan inilah yang membuatku menjadi seorang Great Officer dalam waktu singkat, sekaligus menjadi salah satu Ace, andalan Konfederasi Procyon di setiap pertempuran. Tapi seperti kubilang tadi, apa gunanya jika mata ini membuat seluruh dunia berpaling darimu?

Bagaimana aku bisa mempunyai kekuatan mata seperti ini, menjadi pertanyaan yang selalu berputar tak henti di kepalaku. Dan tak pernah kudapatkan jawabannya. Ya, hal inilah yang kerap memenuhi kepalaku, apalagi aku sangat sulit mengingat apapun yang terjadi sebelum empat tahun yang lalu. Sage Procyon bilang aku mengalami amnesia total akibat kecelakaan perang dengan Konfederasi Capella. Itulah mengapa aku hanya memiliki memori pasca kecelakaan. Sage Procyon juga yang meyakinkanku kalau mata ini adalah anugrah yang kubawa sejak lahir. Tapi toh aku tidak bisa begitu saja mengiyakan apa yang dikatakan Sage Procyon. Karena sepengetahuanku belum pernah ada seorang pun yang mempunyai mata seperti ini, selain diriku. Mata ini terlalu aneh untuk disebut sebagai mata yang dimiliki seorang manusia sejak lahir. Atau memang aku telah dikutuk sejak lahir?

Ah sudahlah, buat apa perkara mata ini kupikirkan lagi sekarang. Lebih baik bersiap-siap dan fokus pada perang yang sudah di depan mata, apalagi perang ini berskala cukup besar. Tapi mau sekeras apapun kucoba memfokuskan diri pada persiapan perang, pikiranku masih tetap melayang tak tentu tujuan. Sampai akhirnya hinggap pada mimpi aneh yang seminggu ini setia bermain-main dalam tidurku. Sebenarnya mimpi apa itu?



*)Based on my @CABALIndonesia's character. Written by an old friend. Edited by me.

Chapter 1: Eyes Set To Kill - Prolog


Vai….

Vai…….!


“Vai, bangun doonk! Udah siang nih, masa kamu masih aja selimutan kaya beruang lagi hibernasi!”

Hoaamm. Aku gerakkan badan ke kanan dan kiri. Kubuka mata perlahan. Aww! Sinar matahari terasa menyengat. Samar-samar kulihat siluet gadis kecil tengah berdiri seraya berkacak pinggang di samping tempat tidurku. Kubiarkan mataku beradaptasi dengan cahaya matahari yang memaksa masuk lewat jendela kamar. Ahh, pasti gadis kecil ini yang menyibakkan gorden penutup jendela.

Usai menggeliatkan badan, rupa gadis kecil ini makin jelas kulihat. Kedua tangannya sekarang sedang melipat selimut yang kugunakan semalam. Sambil tetap menggembungkan pipinya, sesekali matanya yang bulat hitam kecoklatan memandangku kesal. Meski sedang memasang ekspresi marah, wajahnya tetap saja masih terlihat menggemaskan. Usai melipat selimut, tangannya kini sibuk merapikan rambutnya yang tertiup angin. Tumben, biasanya ia selalu mengikat rambut lurus sebahunya yang berwarna merah. Tidak seperti biasanya, hari ini ia mengenakan baju terusan warna pink cerah bermotif bunga matahari kecil. Hmm, scraf ungu muda yang kemarin kulihat di kota pasti akan terli...

Thursday, 24 November 2011

Gagal Romantis


Panggil saja saya Winnie, tapi jangan pakai the Pooh gara-gara kadang ceroboh.
Tak suka mendengar orang mengeluh. 
Lebih tak suka lagi kalau harus berdampingan dengan yang berpeluh.
Wataknya perpaduan koleris dan pragmatis. 
Meski kadang masih sempat juga melankolis.
Kadang agamis, kadang apatis, tapi yang pasti menolak jadi atheis.
Tak mau sering-sering pesimis, justru doyan sinis.
Kadang mencoba humoris.
Tapi seringnya gagal jadi romantis.



saya (yang katanya) manis, tengah menunggu gerimis, dan sedang suka huruf s.


Ketika Yin dan Yang Pecah Kongsi di Benua Xen


Setiap game selalu punya cerita, termasuk Xen Online. Cerita inilah yang menjadi latar belakang atas alur perjalanan para pemain gamenya, para Xenians. Setiap situs yang menjelaskan tentang Xen Online selalu dihiasi dengan cerita mengenai perseteruan antara Dewi Jurea dan Dewi Plutan. Kakak beradik yang bertugas menjaga keseimbangan di Benua Xen. Mungkin memang sudah takdir bahwa selalu ada pertikaian di antara saudara sedarah. Sama seperti sejarah Bumi yang ditandai dengan pembunuhan pertama oleh putra Adam. Qabil membunuh Habil. Sang adik membunuh si kakak lantaran iri dengki.

Bagi saya, dekonstruksi atas sebuah teks tidak melulu berupa lelaku destruktif, melainkan sebagai sebuah konstruksi baru yang merupakan re-interpretasi terhadap teks yang ada. Maka, inilah sebuah dekonstruksi atas kisah Jurea dan Plutan, yang saya upayakan untuk tidak merusak citra atas penokohan dalam dongeng aslinya.

Berbeda dengan sejarah Bumi, kisah ini dimulai saat sang Pencipta membentuk dunia yang disebutnya Benua Xen. Sebagai satu-satunya yang Maha Sempurna, sang Pencipta tak pernah menginginkan hal yang  menjauhi nilai sempurna. Maka demi menciptakan kesempurnaan, Ia menugaskan dua dewi untuk membawa keseimbangan di Benua Xen. Kedua dewi yang sifatnya bertolak belakang meskipun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Keduanya laksana unsur Yin dan Yang. Kedudukan mereka sebagai dewi semakin menjadikan konsep Yin Yang tersebut sebagai dua kekuatan dengan polaritas abadi yang selalu berlawanan namun selalu saling melengkapi. 
Taiji, lambang Yin dan Yang
Jika unsur yang satu mendominasi di atas unsur lainnya, tak ayal ketidakseimbangan akan tercipta. Tentu kau pun tahu bahwa sesuatu yang tak seimbang akan berjalan timpang. Pincang. Dikisahkan, Jurea Sang Dewi Kasih adalah perwujudan dari bentuk Yin di dunia. Sedangkan adik kembarnya, Plutan sebagai Yang menempati posisi oposisi. Dialah Plutan Sang Dewi Perang. Begitu Maha sang Pencipta. Ia menjadikan cinta kasih bersanding dengan angkara murka, seakan paham bahwa murka yang luruh akan meninggalkan cinta, juga sebaliknya. Cinta berlebih justru menimbulkan emosi jiwa. Dua hal yang bertolak belakang tapi saling membutuhkan dan saling melengkapi. Cinta tak akan terasa rasa kasihnya jika kita tak mengenal rasa benci maupun emosi. Murka pun tak lagi menjadi ganas jika tak dibandingkan dengan perilaku yang welas asih.

Jika si kakak dipuja karena berkah dan kehangatannya pada manusia, Plutan justru dihormati karena kekuatannya. Ia dihormati, tapi sekaligus ditakuti. Lagipula, siapa yang tak gentar jika setiap kehadiran Plutan seringkali dihiasi aura kompetisi pada setiap diri? Beruntung, Jurea tak pernah terlalu jauh dari si adik. Secepat kilat, aura kompetisi akan teredam oleh sinar kasih yang ia pancarkan. Percaya atau tidak, orang yang telah siap menghempas pedang pun akan luruh begitu Jurea mendekat. Walhasil, darah manusia tak pernah sukses tumpah ruah di Benua Xen.

Dewi Jurea
Nyatanya, peran sebagai dewi tak pernah bisa menghapus naluri manusia. Perlahan tapi pasti, Plutan mulai berteman akrab dengan rasa iri dengki. Ia iri pada sang kakak yang begitu dielu-elukan para manusia. Sedang dirinya? Kehadirannya tak pernah diharapkan. Tak ada manusia yang membuat candi megah dalam semalam untuknya. Arca dirinya hanya terpasang di beberapa tempat. Dia sadar, manusia selalu menciut saat dirinya melenggang dari langit. 

"Kak, kenapa tak ada manusia yang menyanjung pada setiap kedatanganku? Kenapa mereka selalu menghindar saat aku ingin berbincang?"
"Ah Plutan adikku, siapa bilang tak ada manusia yang menyanjungmu. Dengarlah, saat ini ada kelompok yang tengah melantunkan puja-puji padamu. Apa kau lupa kalau kemarin ada manusia yang mengganti rangkaian bunga di candimu? Mereka menghormatimu kok."
"Tapi rasa takut mereka jauh lebih besar! Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku berbeda denganmu?"
"Tugas kita adalah menciptakan keseimbangan di benua ini. Tugasmu menciptakan atmosfer kompetisi agar manusia bergerak menjadi lebih baik, dan tugasku lah untuk meredam kompetisi tersebut jika sudah berpotensi menimbulkan perselisihan."
"Maksudmu, tugasku lah untuk mengacaukan segala sesuatu, dan dirimu lah yang akan menjadi pahlawannya? Cih!"

Hati Plutan memanas. Penjelasan Jurea tak lagi ia dengarkan. Baginya, candi Plutanius yang semakin sepi sudah menjadi bukti bahwa dirinya perlahan mulai ditinggalkan dan dilupakan manusia. Kini dirinya mulai diselubungi aura hitam. Aura sama yang selalu ia sebarkan pada manusia. Tangannya kini mulai meremas rangkaian bunga yang diambilnya dari altar candi. Bunga itu sudah kering selama 3 hari, dan belum ada orang yang menggantinya. Padahal candi milik kakak kembarnya tak pernah sepi dari bunga-bunga segar, juga arca-arca cantik berkalung bunga. Telinganya kini mendengar puja-puji yang dihaturkan manusia pada kakaknya, Dewi Jurea. Makin lama pujian tersebut makin terdengar nyaring. Setiap pujian dan doa-doa yang didengar semakin menambah pekat aura di sekeliling Plutan. Ia makin gusar. Badannya bergetar menahan gejolak amarah. Dengan cepat tangannya meraih jubah milik Jurea lalu dipakainya. Jubah tersebut kini  berayun ringan seiring langkah Plutans menuju candi yang dipersembahkan untuk kakaknya.

"Ah, itu ada dua manusia. Coba aku lihat, apakah dengan jubah milik kakak ini mereka akan mengenaliku sebagai Plutan atau tidak."


Plutan mengatur langkahnya. Berusaha semirip mungkin dengan sang kakak yang selalu berjalan anggun. Ia mulai menarik nafas panjang untuk menghilangkan aura kemarahannya. Dengan percaya diri ia dekati kedua pria yang tengah berdoa di depan arca berbentuk kakaknya.

Dewi Plutan yang lagi menggunakan jubah milik Dewi Jurea 
"Ah, arca kakak pun dihias dengan rangkaian bunga sebagai mahkota dan gelang tangan. Cantik sekali. Sangat berbeda dengan arca milikku yang tak berhias apapun."

Kini ia hanya berjarak 1 meter dari kedua pemuja arca Dewi Jurea. Keduanya masih belum menyadari kehadiran Plutan. Plutan sendiri justru asyik menikmati raut kedua pria di depannya tersebut. Tak lama kemudian, kedua pria itu menangkupkan kedua tangan di depan muka tanda selesai berdoa, lalu bergumam "Semoga dewi menerima persembahanku" sambil menyodorkan tampah berisi rangkaian bunga segar dan buah-buahan paling cantik yang pernah dilihat Plutan. Saat mendongakkan kepala, kedua pria tersebut terlonjak kaget melihat Plutan yang dikiranya sebagai Jurea.

"Oh dewi... Betapa beruntungnya kami bisa menemuimu di sini. Mohon terima doa dan persembahan kami ini yang tak seberapa."
"Ya dewi, mohon terima persembahan kami. Ini sebagai bentuk syukur kami atas kasih yang kau limpahkan pada kami."

Plutan masih terdiam. Ia kaget dengan sambutan kedua pria tersebut. Setelah sekian lama, baru kali ini ia menerima salam dan sanjungan seperti itu. Plus, baru kali ini pula ia bisa melihat rupa manusia dengan sangat jelas. Biasanya, orang-orang selalu menunduk dalam-dalam saat bertemu dengannya. Tapi kali ini ada orang yang mendongakkan wajah mereka padanya dengan mata berbinar, tanpa terselip rasa segan atau takut. Dan, amboi! Tampan sekali kedua pria yang dilihatnya ini. Perlahan jemari Plutan menelusuri rangkaian bunga di altar candi.

Tangannya mengambil buah anggur yang begitu ranum dari salah satu nampan persembahan. Tapi tiba-tiba,

"Dewi, cicipilah jeruk ini. Ini jeruk Pontianak kualitas super. Manis sekali. Cobalah..."
"Err, jeruk itu memang menarik, kulitnya berkilat licin. Tapi maaf, aku memang tak begitu suka buah jeruk, semanis apapun jeruk itu. Aku lebih suka anggur."
"Tapi dewi, lihatlah, persembahanku ini telah kutata dengan begitu artistik, begitu indahnya. Kau pasti suka, dewi. Persembahan milik temanku hanya berisi satu macam buah tapi lihatlah milikku, beragam buah ada di dalamnya"
"Ya, aku suka sekali dengan persembahanmu ini. Aku suka dengan kedua persembahan kalian. Dan sekarang, tolong biarkan aku menikmati anggur segar dari persembahan temanmu ini. Aku sudah lapar sekali. Ah ya, soal permohonan kalian, akan kupastikan kebun buah milikmu akan bebas hama dan menghasilkan buah-buah segar berkualitas. Dan kamu tukang bunga, tak perlu khawatir. Ilalang di lahanmu akan hilang esok pagi dan akan menghasilkan tulip ungu yang rupawan. Ungu yang segar seperti buah anggur ini."
"Baik, dewi. Terima kasih, nanti akan kupersembahkan tulip cantik untukmu."
"Dewi, setidaknya terimalah buah pir atau kiwi ini."

Plutan melenggang pergi dengan menenteng rangkaian buah anggur di tangannya. Suasana hatinya kini menjadi lebih riang berkat buah kesukaannya tersebut. Namun ia tak sadar, pilihannya untuk mengambil buah tersebut telah menorehkan dengki pada si tukang buah. Plutan kembali ke khayangan tanpa mengetahui bahwa si tukang buah telah berencana menyimpan sebilah pedang tajam untuk esok hari. Begitu tiba di khayangan, ditanggalkannya jubah milik Jurea. Malam nanti, ia akan menebarkan benih tulip ungu sebelum berlayar ke alam mimpi.

***

Khayangan gempar. Untuk pertama kalinya wajah Jurea merah padam karena menahan amarah yang memuncak. Ia merasa terhina atas kelakuan sang adik. Ia baru saja mendapat laporan bahwa arca di candi utamanya kini berhias genangan darah. Tepat di bawah kaki arca terdapat nampan persembahan berisi tulip ungu, di sampingnya tergeletak pria penanam bunga, kepalanya retak tanda bekas dipukul benda keras. Bisik-bisik yang beredar mengatakan bahwa ia lah penyebab kematian pria muda tersebut. Siapa lagi yang paling sering ada di candi selain Dewi Jurea? Padahal ia tak bertemu pria tersebut sebelumnya. Tulip ungu. Ia ingat kalau bunga itu adalah bunga kesukaan Plutan. Sedangkan dirinya mencintai bunga mawar kuning. Lagipula, siapa lagi yang paling berpotensi menebarkan kematian selain adik kembarnya tersebut.

Tergesa ia menuju peraduan sang adik. Ia harus minta penjelasan tentang hal ini. Hatinya tersayat melihat candinya dinodai sebuah dosa besar manusia. Bau anyir darah sudah menyebar kemana-mana. Inilah darah pertama manusia yang sengaja ditumpahkan. Entah karena alasan apa, ia belum mengetahuinya.

"Plutan, bangun kau! Kau berhutang sebuah penjelasan padaku."
"Ah kakak, aku masih mengantuk. Ada apa? Tumben sekali kakak berteriak."
"Kau harus menjelaskan tentang tulip ungu yang ada di candiku. Itu kan bunga favoritmu, kenapa ada orang yang menaruhnya di situ?
"Oh, kemarin aku meminjam jubahmu, kak. Lalu aku lihat ada dua orang yang sedang memujimu. Hebat! Pertama kalinya ada orang yang mau benar-benar berbincang denganku loh, kak. Terus mereka mengajukan doa, ya aku kabulkan saja. Hitung-hitung aku membantumu. Oh ya, maaf, persembahan si tukang bunga aku ambil sedikit. Cuma buah anggurnya kok. Lagipula kau masih punya banyak buah lain dari persembahan temannya, si tukang buah."
"Bagus sekali kau menyamar menjadi diriku tanpa ijin. Kau tahu Plutan, tukang bunga yang kau sebut sudah memberikan tulip ungu sebagai persembahan."
"Wah, berarti dia benar-benar menepati janjinya. Kemarin aku bilang doa mereka aku kabulkan. Tukang bunga mendapat tulip ungu yang indah, sedangkan tukang buah dapat buah-buahan segar dan bebas hama. Ah ya ampun! Aku lupa menghilangkan hama di kebun si tukang buah, kak. Semalam aku sudah terlalu capai menebarkan tulip ungu. Sudah lama sekali aku tak mengabulkan permohonan manusia. Minggir, kak. Aku harus buru-buru ke kebun si tukang buah."
"Untuk apa? Kau pasti sengaja kan melupakan janjimu untuk mengabulkan permohonan si tukang buah? Asal kau tahu, Plutan. Tukang bunga yang kau beri tulip ungu itu tadi pagi tergeletak di candiku. Ia mati bersimbah darah. Di candi milikku, Plutan!"
"Hah? Aku tak tahu kak. Lagipula buat apa aku sengaja melupakan janjiku?"
"Tak perlu berkelit lagi. Aku tahu. Kau iri padaku, makanya kau menyamar jadi diriku. Lalu kau tebar benih permusuhan antar kedua pria itu. Kau hanya mengambil persembahan tukang bunga. Lalu kau sengaja melupakan janjimu pada si tukang buah. Dengan begitu si tukang buah akan marah lalu membunuh tukang bunga. Tega-teganya kau Plutan menumpahkan darah benua ini, terlebih lagi di candiku."
"Tapi kak..."

Penjelasan Plutan tak pernah selesai. Jurea keburu termakan amarah dan pergi menuju candi. Kepercayaannya pada Plutan telah lenyap. Niatnya untuk meminta para pemujanya untuk ikut merayakan hari lahir Plutan yang jatuh pada esok hari hilang. Mengetahui apa yang telah Plutan lakukan kali ini membuat dirinya benar-benar marah pada sang adik tersayang.

Di dalam kamar, Plutan pun merasa marah pada sang kakak. Ini kali pertama ia tak dipercaya, juga kali pertama sang kakak marah padanya. Amarahnya makin memuncak saat mengetahui tak ada manusia yang mempersiapkan perayaan hari lahirnya. Ia merasa dibuang oleh sang kakak, juga dilupakan oleh manusia.  Aura hitam pekat kini mulai menyelimuti Plutan. Secara diam-diam ia membuat rencana untuk menuntaskan dendamnya. Baginya, jika selama ini manusia selalu segan padanya, maka ia akan benar-benar memberikan rasa takut pada mereka. 

"Akan aku panggil kejahatan dari neraka, untuk menciptakan neraka di Benua Xen. Neraka yang tak akan pernah bisa dilupakan manusia."

Plutan bergegas menuju neraka. Selama ini kekuatan neraka tersegel erat di pusat bumi. Hanya dirinya yang mampu membuka gerbang neraka. Untuk membawa neraka, Plutan tentu akan membutuhkan bantuan Tetsarotsa, Raja Neraka. Rencana yang tak sulit, karena Tetsarosta dan para pengikutnya telah ribuan tahun berusaha keluar dari pusat bumi untuk mengobrak-abrik Benua Xen. Tawaran kerja sama dari Plutan jelas disambut gembira oleh Tetsarotsa. Bahkan Tetsarotsa telah menyiapkan ratusan monster andalannya untuk meramaikan Benua Xen dengan kuasa jahat dan kehancuran.

Kesalahpahaman antara Jurea dan Plutan, dewi kembar pencipta keseimbangan di Benua Xen, telah mengacaukan alur waktu dan Mana. Jika Yin dan Yang terpisah, lingkaran energi tak lagi berputar secara sinergis. Hanya Xenian-lah yang mampu mengembalikan keseimbangan dan menyatukan kongsi Yin-Yang yang pecah di Benua Xen menjadi Taiji. Demi keseimbangan dan kedamaian. Ya, demi kembalinya persatuan antara Jurea dan Plutan, para Xenian harus memulai petualangannya. Di sini, di Xen Online Indonesia. 


*Based on Xen Story by XOI, Ilustrasi Dewi by Shiramune@DevianART (yang saya interpretasikan secara sangat bebas sebagai Dewi Jurea dan Dewi Plutan, ihihihi)
**more about Xen Online bisa jalan-jalan ke http://xenindo.blogspot.com/ ya :)
*** Sayangnya, nasib game Xen di Indo gak awet, cuma beberapa bulan lalu hilang gulung tikar..

Wednesday, 23 November 2011

Are You Player Enough?

A wise man said: player NEVER quit playing any games
Although you were stop played online games, but in the end you will still playing games called love
And both of us know that you're still a player indeed
And I?

I used to be a player
I choose to stop play game-of-love
I choose to trust that love was never an option to be played

Then, if you still keep playing as a Don Juan
Should I take part in your game and become one of the woman you're playing with?
I don't think so
What about you?

Are you player enough to (once again) play your game-of-love?


PS: Beware, you'll never know who control your game. Maybe, your game will become mine. :)



enemy's debt

forgive your enemy

but

remember their name, their address, and their debts of course



jakarta. meja ujung kantor.

Friday, 11 November 2011

dasamuka (jangan) binasa

Teruntuk Dasamuka:
di suatu tempat yang pasti bukan nirwana


Duhai kangmas Dasamuka,
Jangan dulu lekas binasa, ya.

Sebab dustamu belum tuntas
kubeberkan semua.




ranah ibukota, menjelang lembayung tiba.

Tertanda,
diriku yang dimiliki Sang Kresna.

laksana keringat jakarta

panasnya jakarta mengalirkan keringat bak airmata. tak deras, tapi cukup menguras.
seperti saat fakta bicara bahwa kamu men-lima:

tak terasa pedas
namun tetap membuat
gemas



jakarta.




karma men-lima

aku tahu kau men-lima.
tapi bukan begitu cara salurkan nestapa.
apalagi jika itu sebab duka diinjak wanita.

dendam tak pernah jadi nyata.
jadi jangan buang energi percuma;

karena hidup tak fana!

dan
kelak
karma
akan bicara.




jakarta.


NO empathy

jika dusta sudah bicara
masih adakah empati tersisa?



halte pgc. jakarta.