Friday, 25 November 2011

Chapter 1: Eyes Set To Kill - Prolog


Vai….

Vai…….!


“Vai, bangun doonk! Udah siang nih, masa kamu masih aja selimutan kaya beruang lagi hibernasi!”

Hoaamm. Aku gerakkan badan ke kanan dan kiri. Kubuka mata perlahan. Aww! Sinar matahari terasa menyengat. Samar-samar kulihat siluet gadis kecil tengah berdiri seraya berkacak pinggang di samping tempat tidurku. Kubiarkan mataku beradaptasi dengan cahaya matahari yang memaksa masuk lewat jendela kamar. Ahh, pasti gadis kecil ini yang menyibakkan gorden penutup jendela.

Usai menggeliatkan badan, rupa gadis kecil ini makin jelas kulihat. Kedua tangannya sekarang sedang melipat selimut yang kugunakan semalam. Sambil tetap menggembungkan pipinya, sesekali matanya yang bulat hitam kecoklatan memandangku kesal. Meski sedang memasang ekspresi marah, wajahnya tetap saja masih terlihat menggemaskan. Usai melipat selimut, tangannya kini sibuk merapikan rambutnya yang tertiup angin. Tumben, biasanya ia selalu mengikat rambut lurus sebahunya yang berwarna merah. Tidak seperti biasanya, hari ini ia mengenakan baju terusan warna pink cerah bermotif bunga matahari kecil. Hmm, scraf ungu muda yang kemarin kulihat di kota pasti akan terli...


“Aww.. sakiiittt!!” jeritku seraya mengusap lengan kanan. Bayanganku tentang sehelai scraf ungu muda menguap digeser sebuah cubitan keras.

“Siapa suruh malah bengong begitu. Ayooo, cepetan bangun! Lihat tuh, hujan sudah berhenti,” tukasnya sambil menarik-narik tanganku.

Masih setengah sadar, aku mulai beranjak dari tempat tidur.

“Vai lihat, ada pelangi!” teriaknya riang. Tangannya menunjuk pelangi dengan bersemangat.

Kualihkan pandangan mengikuti arah telunjuknya. Terlihat pelangi menyembul dari balik pepohonan tinggi dan besar di atas bukit, dengan kemilau kuning cahaya mahatari di sekelilingnya. Sudah cukup lama tak kulihat pelangi seindah ini di Green Despair. Biasanya hanya ada awan mendung dan rintik hujan sepanjang hari.


Usai mengagumi pelangi, gadis kecil itu membalikkan badannya dan melihatku bersemangat. Wajahnya nampak sangat antusias. Matanya berbinar riang.

“Ayo pergi sekarang! Kamu kan udah janji mau nemenin aku ngeliat markas besar Capella. Hitungan dua puluh kamu harus udah siap yaaa, aku tunggu di luar kamar”.


Gadis kecil itu melesat keluar dari kamarku dan menutup pintu. Lamat-lamat kudengar ia mulai menghitung. Tak ingin menghabiskan hari melihatnya cemberut seperti minggu lalu, segera kuseret kaki menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sensasi segarnya air sudah cukup untuk mengusir kantuk yang tersisa. Kuganti pakaian tidurku dan bergegas keluar kamar, tepat sebelum ia selesai menghitung.

“Wow! Gak nyangka kamu bisa gerak cepet. Kirain malah tidur lagi. Hehehe, ayo kita kemon!” ujar gadis kecil itu sambil berlari menyusuri lorong.

Lorong panti asuhan nampak sepi. Tidak ada seorang pun selain aku dan gadis kecil itu. Yang lain pasti sudah bermain di luar menikmati cuaca yang cerah, tebakku. Dan ternyata memang benar. Di halaman kulihat sekelompok anak yang sedang bermain, didampingi seorang perempuan dewasa.

“Aku pergi jalan-jalan sama Vaizard ya, kakak!” teriak si gadis kecil berambut merah sambil melambaikan tangannya. 

“Hati-hati dan cepat pulang ya!” jawab perempuan itu.

Gadis kecil itu kembali berlari sambil menarik tanganku. Ketika panti asuhan sudah hilang dari pandangan, sambil tertawa dia berkata, “Kalo bilang mau lihat markas besar Capella pasti ga akan dibolehin. Hehehe”. 

Kami berlari menyusuri jalan di kota utama Green Despair. Di sisi jalan berderet pohon-pohon besar yang mirip pohon kelapa, salah satu ciri khas Green Despair. Tidak ada satupun sudut jalan di kota utama yang tidak ditumbuhi pepohonan ini—pohon-pohon yang hanya dapat ditemui di Benua Pasture bagian utara. Hari ini jalanan tidak lagi digenangi kubangan air hujan seperti hari-hari sebelumnya, malah kulihat cukup kering di sana-sini. Suasana kota utama Green Despair memang sangat berbeda jika hari cerah. Sepanjang jalan banyak orang lalu-lalang, tidak seperti biasanya. Terlihat pula beberapa orang berseragam putih-ungu dengan lambang Konfederasi Capella di bagian tertentu seragam tersebut, mengikuti battle style pemakainya. Pria tinggi besar yang baru saja lewat memiliki lambang konfederasi yang tersulam di bagian dada kanan seragamnya, dengan kain putih-ungu sepanjang pinggang tersampir di bahu kiri. Orang-orang yang berpapasan dengannya selalu mengangguk hormat. Sepertinya ia pemilik jabatan cukup tinggi dari battle style force shielder. Green Despair memang merupakan basis kekuatan dari Konfederasi Capella. Markas besarnya bahkan berada cukup dekat dengan pusat koloni Green Despair. 

“Ayo cepat Vai!”

Perhatianku teralihkan dari orang-orang Capella tersebut menuju ke gadis kecil berambut merah yang tengah berlari-lari kecil di depanku. Tangannya berayun teratur, sesekali ia membenahi anak rambut yang tertiup angin. Wajahnya nampak sangat riang dan tak henti-henti menyembulkan senyumnya yang sangat indah. 

“Nah, sampai juga di batas kota utama. Dari sini tinggal masuk hutan kecil, terus naik sedikit ke bukit di depan sana deh buat ngeliat markasnya dari jauh. Sayang gak bisa lihat dari dekat, habisnya kalo terlalu dekat bisa-bisa nanti kita malah ditangkap kalo ketahuan. Hehehe,” ujar gadis kecil itu, lagi-lagi sambil tersenyum.


Ah, harus kuakui, aku sangat suka melihat senyumannya. Setiap melihat senyumnya selalu membuatku ingin ikut tersenyum juga. Gadis kecil itu kembali berlari, dan aku pun kembali mengikutinya. Wajahnya masih terlihat sangat riang, tidak ada rasa takut meskipun kami akan menyusuri hutan yang penuh pepohonan dan binatang-binatang liar.


Begitu masuk kawasan hutan, kulihat sekawanan troglo sedang asyik bermain-main di bawah pepohonan, tanpa memedulikan kami berdua. Mereka memang tidak akan menyerang manusia jika tidak diganggu lebih dulu. Biasanya mereka selalu berkumpul di sekitar gubuk tak terpakai di tengah hutan. Bahkan troglo pun menikmati hari yang cerah ini ya, pikirku. 

“Ayo, naik sedikiiiit lagi,” ajaknya sambil menaiki bukit, masih dengan wajah yang penuh semangat.

Akhirnyaaa, kita sampaaaaiii...”. Gadis kecil berambut merah itu berteriak kegirangan.

Dari atas bukit terlihat pemandangan yang cukup menakjubkan. Beberapa bangunan raksasa yang terbuat dari baja berdiri kokoh di kejauhan, dikelilingi pepohonan khas Green Despair dan semak-semak rimbun, membuat bangunan tersebut cukup tersembunyi dari pandangan. Tentunya kecuali dari tempat kami berdiri sekarang. Lambang Konfederasi Capella digambar di setiap bagian depan bangunan-bangunan tersebut. Di sekitar bangunan tersebut, samar-samar kulihat beberapa bangunan hijau berbentuk kubus dengan sebuah tiang aneh di bagian tengahnya. Di dekat setiap bangunan hijau tersebut terdapat mahluk aneh bersayap yang membawa semacam tombak berwarna ungu keemasan. Sesekali mereka terbang rendah mengelilingi bangunan hijau bertiang tersebut. Mungkin makhluk itulah yang disebut-sebut sebagai Legacy Guardian, pikirku. Aku dan si gadis kecil berambut merah cukup lama terkagum-kagum menikmati markas Capella dari atas bukit



“Kelak, kita pasti akan bisa masuk ke sana, dengan seragam putih-ungu seperti orang-orang yang tadi kita lihat di kota. Kita pasti bisa menjadi anggota Capella. Iya kan, Vai?” tanya si gadis kecil berambut merah, masih nampak bersemangat.

”Kalau itu jadi kenyataan dan orang tua kita masih hidup, mereka pasti akan sangat bangga. Pasti, mereka pasti bangga. Iya kan?” tanyanya lagi  sambil menunduk.


Kali ini terpancar kesedihan dari wajahnya. Tapi tidak lama. Sedetik kemudian wajahnya sudah menengadah kembali dengan ceria.

“Ayo Vai!”

Gadis kecil berambut merah itu kini mulai berlari menuruni bukit. Dia berlari dan terus berlari, tanpa henti. Aku berusaha mengikutinya, tapi baru sebentar saja nafasku sudah terengah-engah. Si gadis kecil berambut merah semakin lama makin jauh meninggalkanku Lalu tiba-tiba semuanya berubah menjadi sumir. Pandanganku semakin kabur dan akhirnya gelap total.

Heeiii…Jangan cepat-cepat. Jangan tinggalkan aku…

Kembaliii… Mau kemana kamu…?

Heeeiiiiiiiii…………




*)Based on my @CABALIndonesia's character. Written by an old friend. Edited by me.

No comments:

Post a Comment