“Vai….”
“Vai…….!”
“Vaaiii………!!”
Aku berusaha membuka mata, namun
terasa sangat berat. Terangnya cahaya lampu seakan memaksaku untuk memejamkan
mata kembali. Mataku serasa tak bersahabat dengan cahaya, seolah memang sudah
lama sekali tidak melihatnya. Namun kupaksakan membuka kelopak mata, sambil
berusaha membiasakan diri dengan pijar lampu tersebut. Samar-samar sesosok bayangan buram muncul. Butuh
waktu beberapa menit sampai akhirnya kelopak mataku membuka sempurna. Bayangan
itu kini nampak jelas menjelma.
“Akhirnya kamu sadar Vaaaii…”
Kudapati diri sedang terbaring di
atas tempat tidur dalam ruangan yang melepaskan aroma desinfektan. Sepertinya ini ruangan rumah sakit. Selang infus melekat
erat pada tanganku. Beberapa kabel lain simpang-siur di tubuhku, ujungnya
bermuara pada electro-cardiograf, electroencephalogram, dan
alat-alat lain yang tak kukenal namanya. Di sisi kiri kulihat sebuah alat bantu
pernapasan yang sepertinya baru saja dicabut. Maskernya tergantung asal pada
rangka tabung oksigen. Seorang suster sibuk memencet tombol-tombol alat-alat di
sekelilingku. Tangannya yang lentik kini mulai menggerayangi tubuhku, memeriksa
tanda-tanda kehidupan. Nydia yang berada di samping kanan memandangku sambil
menangis terharu.
“Kamu udah hampir 4 bulan koma, Vai. Tadinya kami udah pesimis banget. Tapi
akhirnya Tuhan ngabulin doa kami. Aku
seneeeeng bangetttt”, ujar Nydia seraya menyeka air matanya. Sebentuk senyum menyembul
dari bibirnya.
Aku pun ikut tersenyum
melihatnya, sekaligus bersyukur. Perasaan yang mungkin dirasakan jika
ditakdirkan untuk masih dapat bernapas dan hidup, padahal beberapa saat sebelumnya
kematian sudah hampir tak berjarak. Kupejamkan mata dan menghela nafas lega. Namun
cepat-cepat kubuka mata kembali karena menyadari sesuatu yang aneh. Nydia memakai
setelan Wizard berwarna ungu cerah:
seragam Konfederasi Capella!
“Nydia, kamu kok pake seragam Capella?”
“Eh, bicara apa sih kamu? Aku kan dari dulu emang di Capella. Ihh, kamu ngelindur
ya gara-gara udah tidur 4 bulan?
Ahahaha…”
Tentu saja aku kaget mendengar
jawabannya. Aku menoleh ke Stevaroz yang ikut tertawa, juga memakai seragam Capella. Namun yang lebih mengherankan
adalah orang berseragam Capella di samping
Stevaroz. Di situ Raydic berdiri tegap sambil tersenyum memamerkan deretan gigi
putihnya.
“Raydic? Gimana bisa, bukannya kamu udah…”
“Aku udah apa?”
Mulutku kini terkatup. Aku hanya
bisa bengong dan terheran-heran melihatnya.
“Gimana dengan Nitemare dan Silverwood?”, tanyaku sambil mengalihkan
pandangan ke arah Stevaroz.
“Hah? Nitemare dan Silverwood? Siapa itu?”
“Sage Vell, Linsley, dan yang
lainnya? Dimana mereka?!”, tanyaku tak sabar.
“Duh, siapa sih itu? Ah, kayanya kamu
masih pusing deh. Istirahat dulu aja. Wahahaha…”, jawab Stevaroz.
Aku kembali terdiam mendengar
jawaban tersebut.
Kali ini aku mengarahkan
pandangan ke Nydia, dan menyebutkan nama si gadis berambut merah sambil
berharap-harap cemas.
“Dimana dia?”
"Siapa pula itu? Beneran kayanya kamu masih pusing terus
jadi suka ngelindur. Mungkin karena baru sadar setelah koma 4 bulan kali ya?
Apa perlu aku panggil lagi suster yang tadi?”
Kali ini rasanya benar-benar sedih dan kecewa mendengarnya…
“Kamu bilang, berapa lama tadi
aku koma?”
“Hampir 4 bulan, kenapa gitu?”
Kejadian yang dimulai dari sebelum misi NightScream sampai perang
terakhir di markas besar Procyon pun berlangsung selama hampir 4 bulan...
Aku segera mencabut selang infus
dan turun dari tempat tidur, lalu melangkah secepat mungkin ke kamar mandi di
sisi kiri ruangan.
“Hei, heiii... Mau kemana kamuuu?
Jangan banyak gerak duluuu”, tukas Nydia cemas sambil menghampiri ke kamar
mandi. Raydic dan Stevaroz menyusul di belakangnya.
Aku melihat bayanganku di cermin kamar mandi tersebut…
“Hei, kamu kenapa sih, Vai?”
Kedua bola mataku berwarna hitam kecoklatan…
“Oi oiiiii.. Kamu kenapaaaa? Udah sana ke tempat tidur lagi.” Kali
ini Stevaroz yang bersuara.
Berarti benar…
Mungkin semua itu hanya sebuah mimpi panjang…
2 Days Later…
Aku masih duduk termenung di atas
tempat tidur di rumah sakit. Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang, hanya
saja aku sudah berjanji untuk menunggu Nydia yang berniat menjemputku pulang. Aku
berusaha untuk mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi di dunia nyata ini. Cukup
sulit memisahkan mana yang nyata mana yang mimpi belaka, mungkin karena
pikiranku sudah terlanjur bercampur aduk, ingatanku tumpang-tindih. Rasanya
seperti terjebak di dalam dua kesadaran yang bertolak belakang. Apalagi, mimpi
panjangku itu benar-benar terasa sangat nyata.
Semalam Stevaroz dan Nydia sudah mengingatkan
soal koma yang kualami selama 4 bulan ini. Katanya disebabkan oleh terluka
berat pada peperangan besar melawan Konfederasi
Procyon. Salah satu peperangan besar yang terakhir, karena dua bulan
sesudahnya, kelompok no nation alias Anti-Konfederasi bersama kelompok penentang
perang dari Konfederasi Capella
maupun Procyon akhirnya berhasil
memprakarsai gencatan senjata. Perjanjian perdamaian pun dibuat di bawah
pengawasan Komite Perdamaian, yang
entah bisa bertahan sampai kapan.
Bedanya, kelompok Anti-Konfederasi di sini tidak dipimpin
oleh Sage Vell, melainkan oleh Sage Nazgul. Sage Capella maupun Procyon
pun masih hidup dan dalam kondisi sehat. Stevaroz dan Nydia juga bercerita kalau
Tower of Sage sekarang sedang
dibangun kembali. Yah, jelas sangat berbeda dengan apa yang aku alami selama 4
bulan itu di ranah kesadaranku yang lain. Yang jelas di dunia nyata ini tidak
ada Silverwood dan Nitemare dengan rencana gila mereka, juga tidak ada kutukan Drosnin’s Eye.
Tetapi juga berarti tidak ada dia…
“Vaaaiiii…!!”
Sapaan Nydia yang baru saja
membuka pintu menghempaskanku dari lamunan. Suaranya terdengar sangat
bersemangat.
“Ayo! Tunggu apa lagi. Aku bantu
beres-beres deh. Abis itu kamu ganti baju terus kita langsung pulang yah. Ga enak kan lama-lama di rumah sakit?
Hehe...”
“Ahaha, pastinya…”
Satu lagi yang berbeda dari apa
yang kujalani selama 4 bulan lalu. Sifat Nydia yang di sini sangat bertolak
belakang dengan Nydia di sana yang pemalu, hahaha…
Tidak lama kemudian, aku dan
Nydia sudah berjalan di pusat kota Green Despair. Hari itu cerah, tidak seperti
biasanya yang selalu diramaikan rintik hujan dan wangi segar tanah basah. Sepanjang
perjalanan Nydia asyik bercerita, tanpa menyadari kalau segala perkataannya tak
begitu serius kusimak. Ada hal lain memenuhi sel-sel otakku yang memaksaku
berpikir. Rasanya suasana ini pernah kualami sebelumnya, meski aku tak tahu
kapan. Seperti sebelumnya pernah ada sederet memori berkesan yang mirip dengan
ini. Déjà vu. Aku terus berjalan
sambil tetap berupaya menjelajahi lapisan korteks otak demi melengkapi puzzle ingatan. Begitu keras usahaku
sampai-sampai tak menyadari kalau kami sudah masuk ke daerah pemukiman Green
Despair. Langkahku mendadak berhenti. Bukan inginku, tapi mungkin ini kerjaan cerebellum yang mengkoordinir superior colliculi otak
tengah dan celah besar ganglia dasar pada otak besarku. Pandanganku terpaku
pada sebuah panti asuhan yang tampak sepi. Mungkin bangunan ini yang membuatku
terhenti, pikirku. Tapi mengapa?
“Hei, kenapa berhenti?” tanya
Nydia. Dia sudah beberapa langkah di depanku.
“Eh, apa aku dulu pernah tinggal
di panti asuhan itu?”
“Hah? Mana pernah. Orang tua kamu
kan meninggal pas kamu udah masuk
akademi Capella. Vai, jangan bilang kalo
kamu jadi amnesia. Kita balik ke rumah sakit lagi aja deh.”
Berarti itu pun hanya mimpi masa lalu, mimpi di dalam mimpi…
“Oh, ahahahaha, enggak…enggak... Aku inget kok. Eh, kita mampir sebentar kesitu ya? Lihat-lihat doang, sebentaaar aja…”
“Ya udah terserah kamu aja deh”
Aku segera melangkah ke dalam
panti asuhan tersebut dan berjalan menyusuri lorongnya. Nydia mengikutiku dari
belakang. Rasanya aku seperti telah
mengenal lorong ini.
“Sepertinya baru dibersihin. Katanya mau dijadiin rumah tinggal,” ujar Nydia
sambil menunjuk pengumuman di pintu.
Kami pun sampai di depan pintu
sebuah kamar. Kudorong pintu dan masuk ke dalamnya.
“Hei Vai, kamu mau ngapain sih? Kalo
diliat orang nanti kita disangka maling loh“,
ujar Nydia lagi, tapi aku sudah tidak begitu memperhatikannya.
Aku edarkan pandangan ke sekeliling
kamar. Hanya ada sebuah meja tulis dan tempat tidur. Muncul perasaan aneh saat mataku
berhenti berputar dan mulai fokus menatap tempat tidur.
Tiba-tiba menyeruak bayangan samar. Bayangan seorang gadis kecil
berambut merah juga anak laki-laki yang tidur melingkar berselimut di tempat
tidur itu. Si gadis kecil nampak membangunkan anak laki-laki itu sambil
marah-marah. Tangan si gadis kecil berkacak pinggang. Tak lama kemudian bayangan
itu pun menghilang…
Tanpa sadar, aku tersenyum sewaktu mengingatnya, mengingat cara dia
membangunkanku waktu itu…
Kata-katanya…
Dan juga semua yang kualami dalam bayangan itu…
“Vai, kamu kenapa sih senyum-senyum sendiri? Kita pulang
yuk!”
“Ahahaha, enggak ada apa-apa kok.
Ayo pulang…”
Kuingat lagi memori tentang bayangan tadi. Memang, sebagian dari memori
tersebut terasa sangat indah. Bahkan sempat muncul pikiran aneh dalam benakku.
Jika saja bisa memilih, mungkin aku lebih memilih terbaring sakit lagi dan
terus “hidup” dalam sebagian memori itu…
Ah, tapi tidak mungkin juga kan, haha. Pikiran yang benar-benar aneh.
*)Based on my @CABALIndonesia's character. Written by an old friend. Edited by me.
No comments:
Post a Comment