Friday, 25 November 2011

Final Chapter: Fragments of Dreams (2)


“Vai….”

“Vai…….!”

“Vaaiii………!!”

Aku berusaha membuka mata, namun terasa sangat berat. Terangnya cahaya lampu seakan memaksaku untuk memejamkan mata kembali. Mataku serasa tak bersahabat dengan cahaya, seolah memang sudah lama sekali tidak melihatnya. Namun kupaksakan membuka kelopak mata, sambil berusaha membiasakan diri dengan pijar lampu tersebut.  Samar-samar sesosok bayangan buram muncul. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya kelopak mataku membuka sempurna. Bayangan itu kini nampak jelas menjelma.

“Akhirnya kamu sadar Vaaaii…”

Kudapati diri sedang terbaring di atas tempat tidur dalam ruangan yang melepaskan aroma desinfektan. Sepertinya ini ruangan rumah sakit. Selang infus melekat erat pada tanganku. Beberapa kabel lain simpang-siur di tubuhku, ujungnya bermuara pada electro-cardiograf, electroencephalogram, dan alat-alat lain yang tak kukenal namanya. Di sisi kiri kulihat sebuah alat bantu pernapasan yang sepertinya baru saja dicabut. Maskernya tergantung asal pada rangka tabung oksigen. Seorang suster sibuk memencet tombol-tombol alat-alat di sekelilingku. Tangannya yang lentik kini mulai menggerayangi tubuhku, memeriksa tanda-tanda kehidupan. Nydia yang berada di samping kanan memandangku sambil menangis terharu.  

“Kamu udah hampir 4 bulan koma, Vai. Tadinya kami udah pesimis banget. Tapi akhirnya Tuhan ngabulin doa kami. Aku seneeeeng bangetttt”, ujar Nydia seraya menyeka air matanya. Sebentuk senyum menyembul dari bibirnya.

Aku pun ikut tersenyum melihatnya, sekaligus bersyukur. Perasaan yang mungkin dirasakan jika ditakdirkan untuk masih dapat bernapas dan hidup, padahal beberapa saat sebelumnya kematian sudah hampir tak berjarak. Kupejamkan mata dan menghela nafas lega. Namun cepat-cepat kubuka mata kembali karena menyadari sesuatu yang aneh. Nydia memakai setelan Wizard berwarna ungu cerah: seragam Konfederasi Capella!

“Nydia, kamu kok pake seragam Capella?”
“Eh, bicara apa sih kamu? Aku kan dari dulu emang di Capella. Ihh, kamu ngelindur ya gara-gara udah tidur 4 bulan? Ahahaha…”

Tentu saja aku kaget mendengar jawabannya. Aku menoleh ke Stevaroz yang ikut tertawa, juga memakai seragam Capella. Namun yang lebih mengherankan adalah orang berseragam Capella di samping Stevaroz. Di situ Raydic berdiri tegap sambil tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya.

“Raydic? Gimana bisa, bukannya kamu udah…”
“Aku udah apa?”

Mulutku kini terkatup. Aku hanya bisa bengong dan terheran-heran melihatnya.

Gimana dengan Nitemare dan Silverwood?”, tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke arah Stevaroz.
“Hah? Nitemare dan Silverwood? Siapa itu?”
“Sage Vell, Linsley, dan yang lainnya? Dimana mereka?!”, tanyaku tak sabar.
“Duh, siapa sih itu? Ah, kayanya kamu masih pusing deh. Istirahat dulu aja. Wahahaha…”, jawab Stevaroz.

Aku kembali terdiam mendengar jawaban tersebut.

Kali ini aku mengarahkan pandangan ke Nydia, dan menyebutkan nama si gadis berambut merah sambil berharap-harap cemas.

“Dimana dia?”
"Siapa pula itu? Beneran kayanya kamu masih pusing terus jadi suka ngelindur. Mungkin karena baru sadar setelah koma 4 bulan kali ya? Apa perlu aku panggil lagi suster yang tadi?”

Kali ini rasanya benar-benar sedih dan kecewa mendengarnya…

“Kamu bilang, berapa lama tadi aku koma?”
“Hampir 4 bulan, kenapa gitu?”

Kejadian yang dimulai dari sebelum misi NightScream sampai perang terakhir di markas besar Procyon pun berlangsung selama hampir 4 bulan...

Aku segera mencabut selang infus dan turun dari tempat tidur, lalu melangkah secepat mungkin ke kamar mandi di sisi kiri ruangan.

“Hei, heiii... Mau kemana kamuuu? Jangan banyak gerak duluuu”, tukas Nydia cemas sambil menghampiri ke kamar mandi. Raydic dan Stevaroz menyusul di belakangnya.

Aku melihat bayanganku di cermin kamar mandi tersebut…

“Hei, kamu kenapa sih, Vai?”

Kedua bola mataku berwarna hitam kecoklatan…

“Oi oiiiii.. Kamu kenapaaaa? Udah sana ke tempat tidur lagi.” Kali ini Stevaroz yang bersuara.

Berarti benar…
Mungkin semua itu hanya sebuah mimpi panjang…


2 Days Later…


Aku masih duduk termenung di atas tempat tidur di rumah sakit. Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang, hanya saja aku sudah berjanji untuk menunggu Nydia yang berniat menjemputku pulang. Aku berusaha untuk mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi di dunia nyata ini. Cukup sulit memisahkan mana yang nyata mana yang mimpi belaka, mungkin karena pikiranku sudah terlanjur bercampur aduk, ingatanku tumpang-tindih. Rasanya seperti terjebak di dalam dua kesadaran yang bertolak belakang. Apalagi, mimpi panjangku itu benar-benar terasa sangat nyata.

Semalam Stevaroz dan Nydia sudah mengingatkan soal koma yang kualami selama 4 bulan ini. Katanya disebabkan oleh terluka berat pada peperangan besar melawan Konfederasi Procyon. Salah satu peperangan besar yang terakhir, karena dua bulan sesudahnya, kelompok no nation alias Anti-Konfederasi bersama kelompok penentang perang dari Konfederasi Capella maupun Procyon akhirnya berhasil memprakarsai gencatan senjata. Perjanjian perdamaian pun dibuat di bawah pengawasan Komite Perdamaian, yang entah bisa bertahan sampai kapan.

Bedanya, kelompok Anti-Konfederasi di sini tidak dipimpin oleh Sage Vell, melainkan oleh Sage Nazgul. Sage Capella maupun Procyon pun masih hidup dan dalam kondisi sehat. Stevaroz dan Nydia juga bercerita kalau Tower of Sage sekarang sedang dibangun kembali. Yah, jelas sangat berbeda dengan apa yang aku alami selama 4 bulan itu di ranah kesadaranku yang lain. Yang jelas di dunia nyata ini tidak ada Silverwood dan Nitemare dengan rencana gila mereka, juga tidak ada kutukan Drosnin’s Eye.

Tetapi juga berarti tidak ada dia…

“Vaaaiiii…!!”

Sapaan Nydia yang baru saja membuka pintu menghempaskanku dari lamunan. Suaranya terdengar sangat bersemangat.

“Ayo! Tunggu apa lagi. Aku bantu beres-beres deh. Abis itu kamu ganti baju terus kita langsung pulang yah. Ga enak kan lama-lama di rumah sakit? Hehe...”
“Ahaha, pastinya…”

Satu lagi yang berbeda dari apa yang kujalani selama 4 bulan lalu. Sifat Nydia yang di sini sangat bertolak belakang dengan Nydia di sana yang pemalu, hahaha…

Tidak lama kemudian, aku dan Nydia sudah berjalan di pusat kota Green Despair. Hari itu cerah, tidak seperti biasanya yang selalu diramaikan rintik hujan dan wangi segar tanah basah. Sepanjang perjalanan Nydia asyik bercerita, tanpa menyadari kalau segala perkataannya tak begitu serius kusimak. Ada hal lain memenuhi sel-sel otakku yang memaksaku berpikir. Rasanya suasana ini pernah kualami sebelumnya, meski aku tak tahu kapan. Seperti sebelumnya pernah ada sederet memori berkesan yang mirip dengan ini. Déjà vu. Aku terus berjalan sambil tetap berupaya menjelajahi lapisan korteks otak demi melengkapi puzzle ingatan. Begitu keras usahaku sampai-sampai tak menyadari kalau kami sudah masuk ke daerah pemukiman Green Despair. Langkahku mendadak berhenti. Bukan inginku, tapi mungkin ini kerjaan cerebellum yang mengkoordinir superior colliculi otak tengah dan celah besar ganglia dasar pada otak besarku. Pandanganku terpaku pada sebuah panti asuhan yang tampak sepi. Mungkin bangunan ini yang membuatku terhenti, pikirku. Tapi mengapa?

“Hei, kenapa berhenti?” tanya Nydia. Dia sudah beberapa langkah di depanku.
“Eh, apa aku dulu pernah tinggal di panti asuhan itu?”
“Hah? Mana pernah. Orang tua kamu kan meninggal pas kamu udah masuk akademi Capella. Vai, jangan bilang kalo kamu jadi amnesia. Kita balik ke rumah sakit lagi aja deh.”

Berarti itu pun hanya mimpi masa lalu, mimpi di dalam mimpi…

“Oh, ahahahaha, enggak…enggak... Aku inget kok. Eh, kita mampir sebentar kesitu ya? Lihat-lihat doang, sebentaaar aja…”
“Ya udah terserah kamu aja deh

Aku segera melangkah ke dalam panti asuhan tersebut dan berjalan menyusuri lorongnya. Nydia mengikutiku dari belakang. Rasanya aku seperti telah mengenal lorong ini.

“Sepertinya baru dibersihin. Katanya mau dijadiin rumah tinggal,” ujar Nydia sambil menunjuk pengumuman di pintu.

Kami pun sampai di depan pintu sebuah kamar. Kudorong pintu dan masuk ke dalamnya.

“Hei Vai, kamu mau ngapain sih? Kalo diliat orang nanti kita disangka maling loh“, ujar Nydia lagi, tapi aku sudah tidak begitu memperhatikannya.

Aku edarkan pandangan ke sekeliling kamar. Hanya ada sebuah meja tulis dan tempat tidur. Muncul perasaan aneh saat mataku berhenti berputar dan mulai fokus menatap tempat tidur.

Tiba-tiba menyeruak bayangan samar. Bayangan seorang gadis kecil berambut merah juga anak laki-laki yang tidur melingkar berselimut di tempat tidur itu. Si gadis kecil nampak membangunkan anak laki-laki itu sambil marah-marah. Tangan si gadis kecil berkacak pinggang. Tak lama kemudian bayangan itu pun menghilang…

Tanpa sadar, aku tersenyum sewaktu mengingatnya, mengingat cara dia membangunkanku waktu itu…
Kata-katanya…  
Dan juga semua yang kualami dalam bayangan itu…

“Vai, kamu kenapa sih senyum-senyum sendiri? Kita pulang yuk!”
“Ahahaha, enggak ada apa-apa kok. Ayo pulang…”

Kuingat lagi memori tentang bayangan tadi. Memang, sebagian dari memori tersebut terasa sangat indah. Bahkan sempat muncul pikiran aneh dalam benakku. Jika saja bisa memilih, mungkin aku lebih memilih terbaring sakit lagi dan terus “hidup” dalam sebagian memori itu…

Ah, tapi tidak mungkin juga kan, haha. Pikiran yang benar-benar aneh.



*)Based on my @CABALIndonesia's character. Written by an old friend. Edited by me.

No comments:

Post a Comment