Gelap…
Aku tidak bisa melihat
apa-apa… Badanku pun mati rasa…
Apa aku sudah mati…?
Tidak!!
Aku berusaha membuka mata sambil
berdiri dengan susah payah. Tubuhku penuh dengan luka, dan sepertinya beberapa tulangku
patah. Tapi rasa sakitnya tidak seberapa dibandingkan sensasi mendidih pada
organ dalamku akibat luka tusukan hellfire
blade milik Nitemare. Nafasku terasa sangat berat. Pandanganku masih kabur.
Lamat-lamat sebentuk ruangan mulai tergambar di mataku, atau tepatnya ruangan
yang rusak parah akibat ledakan. Langit-langitnya koyak. Puing-puing reruntuhan
berserakan di mana-mana. Kulihat sebuah bola kristal melayang rendah di atas
altar yang masih berdiri angkuh di bagian depan ruangan. Hanya dua benda itu
yang masih berbentuk utuh. Sangat kontras dengan sekelilingnya yang hancur
lebur. Kristal itu memancarkan cahaya merah dan hitam bergantian. Mataku
terbelalak. Bola kristal itu, Drosnin’s
Eye!
Sontak mataku segera mencari
sesuatu di antara taburan debu-debu reruntuhan; atau tepatnya seseorang.
Nitemare. Kudapati ia berada di depan tempatku berdiri. Tak persis berhadapan
memang, jarak antara kami dibatasi sebuah dinding kaca yang sudah buram dan
retak disana-sini. Ia masih berusaha bangkit seraya memegang kepalanya.
Kondisinya tak jauh berbeda denganku, torehan luka juga mengambil banyak tempat
di tubuhnya. Satu sama. Kini kami sudah sama-sama berdiri tegap. Kedua bola
matanya yang merah menyala memandangku. Cairan merah perlahan meleleh dari
sudut mulutnya. Kupastikan, seal of
damnation milikku juga berhasil menggempur organ dalam miliknya. Dia mulai
menyeringai sambil tertawa sinis.
“Hey, kau yakin mau
melanjutkan ini semua, kakak? Kau mungkin sudah bosan mendengar ini, tapi kuingatkan
sekali lagi, untuk yang terakhir kali. Tak akan ada yang menang atau kalah dari
pertarungan ini. Ingat, kita adalah kembaran yang sama-sama menerima kekuatan Drosnin’s Eye! Jika salah satu dari kita
mati, maka yang satunya pun akan kehilangan nyawa dalam sekejap!”
Aku berusaha mengacuhkan
ocehannya demi mengulur waktu selama mungkin untuk mengumpulkan tenaga. Tapi
kata-katanya tentang kembaran membuatku kehilangan kesabaran.
“Cih! Aku tidak ingat kalau punya
kembaran orang gila sepertimu. Kamu itu cuma kloningan yang dibuat dari DNA-ku,
tidak lebih. Dan lucunya, kelihatannya memang kamu yang takut mati. Rupanya kloningan
bisa takut mati juga, hah?”, ejekku sambil menyeringai, persis seperti dia.
“Ahahahahahahaha…”
Derai tawanya membahana. Nitemare
nampak sangat puas.
“Ternyata kamu memang benar-benar
kakakku!!”
Raut wajahnya sekarang
menyiratkan nafsu membunuh yang sangat besar.
Ruangan bawah tanah itu kembali
bergetar. Puing-puing dari langit-langit kembali berjatuhan. Semoga saja Stevaroz,
Linsley, dan yang lainnya bisa keluar dari sini dengan selamat.
Dengan susah payah, kucoba
memfokuskan kembali pikiran sambil mengumpulkan force di tangan kiriku dengan sisa-sisa tenaga. Force terkumpul lebih lama dari biasanya,
namun perlahan tapi pasti, muncul aura api berwarna biru tua di telapak tangan
kiriku. Tak ingin buang-buang waktu, segera kumasukkan force api tersebut ke pedang, membuatnya seketika menjadi fireblade dengan nyala api biru tua. Kulihat
Nitemare juga melakukan hal yang sama, hanya saja force api pada pedangnya berwarna hitam pekat.
Nafasku masih terasa sangat
berat. Kutarik nafas panjang dengan menahan nyeri di sekitar tulang rusuk.
Ini yang terakhir…
Untuk masa depan Nevareth, di mana dia dan semua orang yang berharga
bagiku hidup…
Juga untuk diriku sendiri…
“Hehehe… Kakak, jika kamu memang
sangat ingin bertempur denganku, akan kukabulkan sekarang juga!!”
Nitemare berlari sambil menghunus
pedangnya. Aku beserta firebladeku pun
segera menyambutnya.
…………….
…………….
…………….
*)Based on my @CABALIndonesia's character. Written by an old friend. Edited by me.
No comments:
Post a Comment