Irfan tampak asyik bermain. Jarinya memencet-mencet tombol keyboard, sementara matanya tak lepas dari layar monitor yang tengah menayangkan gerak akrobatis tokoh yang dikendalikannya mengatasi rintangan sambil menghadapi musuh-musuhnya.
Begitulah biasanya kesibukan anak laki-laki usia tujuh tahun itu sepulang sekolah. Bersama kakaknya Oki, dan teman-temannya, bocah kelas 2 SD itu selalu menyempatkan bermain game online di warnet BungaMas, Jatinangor. Begitu tokohnya mati dan permainan berakhir, dia segera mengulang dari awal dengan rasa penasaran. Semua itu tercermin dari ekspresi wajahnya dan pencetannya yang terkesan makin tak terkontrol.
Awal perkenalannya dengan game online bermula dari ikut sang kakak. Terpaut usia empat tahun dari si adik, Oki telah mengenal permainan online sejak ia masih duduk di kelas 4 SD. Mulanya, Oki bermain di warnet Monster yang terletak di dekat rumahnya di daerah Ciseke, Jatinangor. Di sanalah ia mulai mengenal game Counter Strike (CS), permainan tembak menembak untuk menyelamatkan sandera dan mengamankan wilayah yang dikuasai. Ia memang tak langsung bermain secara online. Ia belajar CS dengan server LAN. Lambat laun ia pun mulai beralih ke server online dan berkenalan dengan game DotA.
“Dari jaman saya main di Monster (gamenet di Jatinangor,red), anak itu (Oki,red) udah mulai main (game online,red). Waktu itu seingat saya, dia satu-satunya anak kecil yang main di Monster sampai malam. Malah pernah saya lihat dia main sampe pagi,” ujar Vicky (23).
Oki, yang kini duduk di kelas 6 SD sudah mahir bermain game online. Semua game yang tersedia di warnet BungaMas sudah ia mainkan. Kemahirannya itulah yang kemudian membuat sang adik mengikuti jejaknya, bermain game online. Padahal ukuran badan Irfan belum cukup memadai untuk duduk di depan monitor. Tangannya kerap kesulitan untuk mengetik atau menjalankan fungsi-fungsi karakter dalam game yang ia mainkan. Tak jarang ia menyingkirkan kursi dan bermain sambil berdiri. Apa tidak capek? Ia bilang, ”Abis enggak sampe pencetan keyboard ma mouse-nya. Tangan-(Irfan,red)-nya kekecilan. Lagian capek kalo duduk, kepalanya harus ngedengak terus. Mending sekalian berdiri aja.” Oh ya, sekadar perbandingan, badan Irfan saat duduk besarnya tak beda jauh dengan besar CPU komputer. Tingginya pun hanya 100 cm. Bayangkan saja bagaimana sulitnya ia saat menggerakkan mouse sambil mengetik dan melihat layar monitor.
“Lucu aja kalau pasukan kecil (sebutan bagi Oki, Irfan dan teman-teman seumurannya,red) itu udah datang ke BungaMas. Datangnya keroyokan. Biasanya mulai datang dari jam 1 siang sampe jam 7 malam. Apalagi kalo liat si Irfan. Badannya sama kursi masih lebih gede kursinya. Mau dilarang juga percuma, mereka datang terus. Padahal udah sering banget dimarahin sampe diusir sama pemain lain. Masih kelas 2 SD udah kenal game, besarnya mau jadi apa mereka?”, keluh Akrom, salah satu operator game di BungaMas.
***
Game ibarat dua sisi mata pisau—di satu sisi mempunyai kelebihan dan di sisi lainnya terdapat kekurangan, yaitu efek dari maraknya game online tersebut. Salah satu efek dari maraknya perkembangan game online adalah terciptanya komunitas-komunitas yang memfasilitasi para gamer untuk menuangkan segala pengalaman mereka. Tak hanya itu, komunitas-komunitas tersebut kemudian dijadikan ajang komunikasi multikultural yang dapat menjelma menjadi gaya hidup dan penyambung tali silaturahmi antar individu.
Ekses dari gaya hidup ala game online adalah waktu bermain yang berlebihan dan waktu istirahat yang sangat kurang. Game online mempunyai kecenderungan membuat pemainnya asyik di depan komputer sampai melupakan waktu. Oleh sebab itu, kita harus mempunyai manajemen waktu yang baik bila kita ingin memainkan game online. Jangan sampai kita justru terjebak dalam kenikmatan semu game online dan melupakan hal lain yang lebih penting, misalnya pendidikan. Sudah tak terhitung banyaknya korban game online yang sekolah atau kuliahnya terbengkalai lantaran terlalu asyik bermain game.
Adya misalnya, pemain game Ayodance ini sekarang masih duduk di kelas 3 SMA. Padahal di usianya yang menginjak 19 tahun, semestinya tahun ini setidaknya ia sudah menyandang predikat sebagai mahasiswa tingkat dua. Ia tinggal kelas gara-gara sering bolos dan tidak hadir saat ujian. Gayuh, mahasiswa tingkat akhir di Universitas Atmajaya justru secara sadar meninggalkan bangku kuliahnya. “Gak tahu nih sekarang kuliahnya bakal kaya gimana. Mau serius aja di game. Sekarang lagi usaha warnet, biar tiap hari bisa main,” tuturnya. Atau Nicky yang terpaksa harus pindah ke Universitas Maranatha setelah divonis drop out oleh Fakultas Sastra Unpad.
Kontroversi mengenai pengaruh game online bagi generasi muda memang masih berlangsung. Di tengah gonjang-ganjing pengaruh buruk yang ditimbulkan game, banyak pula dilakukan penelitian tentang apa saja yang dapat dipelajari gamer dari bermain.
Mengenai game balap misalnya, game ini mengundang pro dan kontra seputar perilaku mengemudi anak muda. Game balapan disebut-sebut dapat memengaruhi perilaku seseorang saat sedang mengemudi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa anak-anak muda yang bermain game balapan terlalu sering ternyata lebih lihai dalam mengatur kecepatan dan lebih ugal-ugalan saat mengendarai mobil daripada mereka yang tidak aktif bermain game tersebut.
Dari total responden 1.000 orang, lebih dari sepertiganya mengaku menekan pedal gas lebih keras setelah memainkan game balap. Sebanyak 27% pengemudi berusia 16-24 tahun diklaim memiliki resiko lebih besar dalam mengemudi di jalanan, setelah sebelumnya memainkan game balap. Lebih dari setahun yang lalu, game salinan dari Need for Speed besutan Electronic Arts (EA) ditemukan di mobil seorang pengemudi yang membunuh seorang pengemudi taksi ketika ia sedang asyik balapan dengan temannya.
-Bersambung yaaa...-
No comments:
Post a Comment