Thursday, 26 May 2011

Kuliah Alternatif a la Gamer (Part 3-Habis)


Berkaitan dengan fenomena game online yang kian marak di kalangan pelajar, psikolog Emi Maesaoh turut urun suara. Menurutnya, fenomena ini bisa terjadi karena kuatnya faktor internal dan eksternal dalam diri si anak. Faktor internal bisa berupa ketertarikan anak karena jenuh dengan kegiatan sekolah, ingin coba-coba, atau kurang diperhatikan orang tua.. Sedangkan faktor eksternal berupa daya tarik dari game itu sendiri, termasuk juga ajakan dari teman yang sebaya ataupun yang lebih tua.

“Apalagi usia sekolah adalah usia rentan. Anak sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan dan teman-temannya. Mereka punya keinginan untuk diakui, butuh wadah untuk mengeksistensikan keberadaan mereka. Dulu saat band musik booming, anak-anak sekolah beramai-ramai membentuk band. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mampu. Sama seperti dengan kasus ini. Sekarang game online sedang naik daun. Dimana-mana ada warnet yang menyediakan tempat untuk bermain. Jika ada seorang saja pelajar yang bermain game tersebut. Maka wabahnya akan menyebar. Dari sekedar cerita betapa asyiknya main game online sampai ajakan untuk ikut bermain,” jelas lulusan program studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini.

Emi juga mengkhawatirkan perkembangan game online terhadap pelajar, terutama SD dan SMP. “Apalagi anak SD, aduuuuhh…, saya sampai gemas melihatnya. Pulang sekolah langsung main game. Mereka belum mahir menggunakan komputer, apalagi bahasa Inggris yang digunakan di semua game, tapi mereka tetap antusias bermain. Padahal di umur mereka, daya tangkap terhadap sesuatu itu sedang berkembang. Sayang kalau digunakan untuk menyerap game-game, bukannya untuk pengetahuan lain. Waktu mereka juga jadi terbengkalai, tugas sekolah tidak dikerjakan, konsentrasi untuk belajar juga menurun karena selalu terpikirkan permainan,” keluhnya saat ditemui di SMP PGII 2 Bandung.

Rifki, bocah kelahiran tahun 2000, semestinya tahun ini duduk di kelas 3 SD. Tapi nyatanya ia tinggal kelas. Penyebabnya, ia sering bolos sekolah dan tidak mengerjakan tugas sekolah. Di rumah pun jarang belajar. Kerjaannya bermain game online. Orang tuanya tidak tahu kalau Rifki selalu menghabiskan waktu dari siang hingga sore hari dengan bermain game online. Rifki selalu memilih bermain game yang jaraknya jauh dari rumah. Ia tinggal di Majalaya, Bandung, dan memilih bermain game di Jatinangor. Alasannya, “Biar enggak ketahuan ibu”.

Menurut Mark Griffiths, seorang pakar adiksi game dari Nottingham Trent University seperti yang ditulis situs British Broadcast Corporation (BBC),  anak-anak mulai tertarik pada game pada usia sekitar tujuh tahun. Dalam masa ini, tambahnya, segala hal yang terjadi adalah kegiatan yang belum menimbulkan kerusakan serius meski sebagian orang sudah melihat adanya gejala kecanduan. Namun penelitian terbaru pada anak usia awal belasan tahun di Inggris menemukan hampir sepertiganya bermain game setiap hari. "Yang lebih mengkhawatirkan sekitar 7%-nya bermain paling sedikit selama 30 jam per minggu," ungkap penelitian tersebut.

Mengenai hal ini, Emi berpendapat, ketergantungan semacam itu dapat memicu perilaku menyimpang lain seperti mencuri uang untuk membeli game baru, bolos sekolah, keengganan mengerjakan pekerjaan rumah (PR), atau rasa tak tenang saat tidak bermain game. Dalam sebuah forum antar pemain game Ragnarok Online, seorang pemain menceritakan pengalamannya menjadi operator game pada tahun 2004-2006.

Menurutnya, warnet tempat ia bekerja pernah dua kali diprotes ibu-ibu. Yang pertama karena ada seorang ibu yang protes anaknya bolos sekolah gara-gara bermain game di warnet tersebut. Yang kedua diprotes gara-gara si anak mencuri uang ibunya karena tidak punya uang untuk bermain game. “Itu belum seberapa, tahun 2007 gue pernah liat ada anak SMP yang bawa uang Rp 2 juta ke warnet tempat gue maen game. Ternyata bener, selang dua jam kemudian orang tuanya datang. Itu anak nyolong duit orang tuanya. Lagian dia mau ngapain, nyuri uang segitu banyak,” ungkap John.

Meski game online sering dijadikan alasan turunnya prestasi siswa, Emi juga mengiyakan hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri. Hasil penelitian yang dilakukan psikolog di Finland University menyatakan bahwa game bisa membantu anak-anak untuk meningkatkan kemampuan baca. Bahkan hasil riset yang dilakukan di Indonesia membuktikan bahwa banyak siswa yang mahir berbahasa Inggris tanpa melalui kursus adalah mereka yang suka bermain game. Menurut James Paul Gee, dosen di University of Wisconsin-Madison, Amerika, sebagian besar dugaan yang dituduhkan pada game tidaklah benar. “Game banyak manfaatnya, kok,” ujar penulis buku What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacy dalam situs www.hotgame-online.com. Jika digunakan dengan benar, menurutnya video game dan game komputer termasuk game online berpotensi sebagai sarana untuk belajar.

Selama dua-tiga tahun mempelajari dampak sosial game, Gee menemukan banyak gamer remaja yang pada akhirnya jago komputer. Kata Gee lagi, anak-anak yang hobi main game komputer biasanya tahu lebih banyak soal komputer daripada orang tuanya. Penelitian lain dilakukan oleh Teachers Evaluating Educational Multimedia (Teem) dari Departemen Pendidikan Inggris. Profesor Angela McFarlane, Direktur Teem, menegaskan, “Game bernuansa adventure, quest, dan simulasi memiliki banyak manfaat. Game-game ini cukup rumit dan mampu mengembangkan kemampuan penting untuk anak-anak, misalnya kemampuan motorik dan daya imajinasi.”

John Beck dan Mitchell Wade yang menulis buku The Kids Are Alright: How The Gamer Generation Is Changing The Workplace mengemukakan dalam situs www.ippmassi.4umer.com bahwa permainan komputer sering kali malah membantu anak-anak untuk lebih bisa mengembangkan strategi berpikir. Dalam beberapa kasus malah dapat menjadikan anak lebih mampu menjadi pemimpin. Game dinilai dapat membantu pemainnya untuk bersosialisasi, sekaligus mengancam jiwa sosial pemain tersebut. Jika si pemain mampu menempatkan game sebagai salah satu cara untuk memperbanyak teman, game jelas akan memberinya akses ke berbagai komunitas baru yang disatukan oleh game. Namun sebaliknya, jika si pemain lalai, ia justru akan ‘dimakan’ oleh game tersebut.

Menurut salah satu guru Bimbingan dan Konseling (BK) di Sekolah Menengah Atas (SMA) 2 Cirebon, Dra. Anisah, murid-murid yang mengenal game cenderung akan mengabaikan lingkungan sekitarnya. “Ia menjadi autis, merasa hidup di dunianya sendiri. Baginya hanya ada dirinya dan game yang dimainkannya. Ini berlaku terutama jika murid yang bersangkutan sifatnya pendiam dan pemalu di kehidupan nyatanya. Di game ia akan menjelma menjadi sosok lain yang ramai. Tapi tidak di kehidupan nyata,” ungkapnya ketika dihubungi via telepon..

Contohnya Oki, siswa kelas 6 SD Jatinangor. Di game ia akan mengobrol dengan banyak orang. Kadang ia melontarkan guyonan atau rayuan kepada karakter-karakter perempuan di dalam game. Namun saat ditanya di mana ia tinggal, ia hanya diam sambil mengangkat bahu. Matanya tak lepas sedetik pun dari layar komputer. Ditanya apapun jawabnya selalu diam seraya mengangkat bahu. “Ah, ngomong sama anak itu (Oki,red) enggak beda sama ngomong ma tembok. Dicuekin melulu. Udah kaya anak autis dia,” tutur Vicky gemas.
***

Di balik segala keasyikan dan keuntungan yang ditawarkan game online, ia tetap menyimpan kerugian tersendiri. Bagaimanapun, permainan tetaplah sebuah permainan, meskipun ia melibatkan banyak orang yang terhubung secara online. Pasti ada hal-hal yang dirugikan. Waktu, tenaga, uang, ataupun teman yang ditinggalkan akibat terlalu asyik dengan teman baru di dunia maya, bahkan hingga merelakan pendidikan. Meski banyak penelitian yang menyebutkan game online dapat meningkatkan daya konsentrasi, jiwa sosial, naluri berdagang, daya refleks hingga mahir berbahasa Inggris dan beragam pengetahuan lainnya, sebuah institusi pendidikan tetap tak dapat diabaikan.

Bagaimanapun pendidikan haruslah tetap yang terutama. Jangan sampai kasus seperti Nicky, Ryan, Ageng, Gayuh, David dan sederet nama lainnya yang terpaksa harus mengulang kuliah mereka selama beberapa semester gara-gara keasyikan main game. Nicky, tahun ini malah harus pindah kuliah ke Universitas Maranatha karena didrop-out (DO) dari Fakutas Sastra Unpad. Ia kena DO lantaran absen kuliah selama satu semester dan tidak mengikuti registrasi saat semester selanjutnya. Jangan sampai ada Nicky lainnya. Kuliah tetap harus dilakukan di kampus yang sebenarnya, bukan di ‘kampus-kampus’ lainnya a la pemain game.

-Tamat juga deh akhirnya, hehe. Ini tugas mata kuliah Indepth Reporting, tahun 2008- 

No comments:

Post a Comment