Hal yang paling dikritik dari game adalah dampaknya yang bisa membuat kecanduan. Singkatnya permainan itu dituduh menjadikan orang berperilaku kompulsif, tak acuh pada kegiatan lain, dan memunculkan gejala aneh, seperti rasa tak tenang saat keinginan bermain tidak terpenuhi. Penelitian lebih dari sepuluh tahun lalu menunjukkan bahwa pecandu game (junkies) adalah individu berintelijensi tinggi, bermotivasi, dan berorientasi pada prestasi. Mereka berprestasi bagus baik di sekolah maupun tempat kerja yang tidak terganggu dengan hobi yang satu ini.
Namun kecanggihan game yang terus berkembang dan makin banyak dibuat pada abad 21 ini, masih jadi tanda tanya apakah game berpengaruh pada orientasi prestasi seseorang. Seorang pakar adiksi game, Mark Griffiths dari Nottingham Trent University dalam situs BBC mengungkapkan, game bisa saja membuat pemainnya lebih termotivasi. Apalagi, tambahnya, game yang beredar saat ini lebih memberikan kepuasan psikologis dibandingkan game yang hidup pada tahun 1980-an misalnya. Mengenai hal ini, psikolog Emi Maesaroh turut urun suara. Menurutnya, kemungkinan pemain mengalami kecanduan akan semakin besar saat mereka mendapat ekspektasi berupa 'hadiah psikologis' yang lebih besar pula.
”Kenikmatan saat bermain game, rasa puas yang dicapai saat mereka mampu mencapai hal-hal tertentu. Inilah hadiah psikologis yang kerap mereka dapat dari bermain game. Kepuasan semacam ini sukar untuk dinilai. Saat seseorang sudah mendapat kepuasan tertentu yang mereka rasa tidak akan didapat dari aktivitas lain, maka mereka cenderung akan ’menjerumuskan diri’ lebih dalam pada aktivitas tersebut,” jelas Emi.
Kecanduan bermain game tak hanya bisa mencuri waktu dan biaya, tapi juga mampu mencuri nyawa. Di bulan Desember 2005, di Korea Selatan dilaporkan seorang pria tewas seketika akibat kelelahan setelah bermain game online selama 10 hari non-stop! Situs KapanLagi.com menulis, pria berusia 38 tahun itu ditemukan sekarat. Akhirnya, nyawa sang maniak game tak terselamatkan lagi karena ia tewas sebelum sampai di rumah sakit.
Insiden serupa juga pernah terjadi pada Agustus 2006, dimana seorang pria berusia 28 tahun ditemukan tewas akibat bermain game online selama lebih dari 2 hari tanpa makan dan istirahat. Di China, bulan Maret 2005 muncul kasus pembunuhan yang dilakukan oleh gamer di kota Shanghai karena temannya menjual properti senjata dari game online Legend of Mirror 3 miliknya. Di Korea, ada orang meninggal gara-gara bermain Starcraft selama 50 jam non-stop.
Gemas akan tingginya tingkat kematian di Asia akibat bermain game, pemerintah Cina sejak 2006 membangun sebuah sistem yang mengatur jumlah waktu yang dihabiskan oleh gamer. Ada batasan tiga jam untuk bermain, setelah itu gamer ‘dipaksa’ untuk istirahat selama lima jam atau kemampuan karakter mereka di game akan berkurang setengah. Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia memang belum ada kasus demikian. Tapi bukan tidak mungkin ini dapat terjadi mengingat banyaknya pemain game yang tahan nongkrong berhari-hari untuk bermain game. Yang paling parah ‘baru’ serangan pencernaan atau tifus, seperti yang dialami Iqbal, mahasiswa angkatan 2006 Fakultas Teknik Ilmu Pertanian Unpad. Ia jatuh pingsan setelah bermain game selama 2 hari non-stop tanpa istirahat. Bahkan makan dan minum pun ia lakukan di depan komputer.
***
Dari semua dampak negatif yang ada pada game online, yang paling menonjol adalah dampak psikologis. Awalnya, para perancang game memilih jenis-jenis permainan kekerasan karena hal ini diyakini mampu menarik perhatian anak-anak sebagai konsumennya. David Setiabudhi, pemegang rekor dari MURI dan lisensi HAKI sebagai pembuat Divine Kids yang diakui sebagai game pertama Indonesia pun mengiyakan hal tersebut. Ia menambahkan, selain daya tarik berupa kekerasan juga ada unsur petualangan. Apalagi menurutnya, mayoritas game termasuk Divine Kids memang awalnya ditujukan bagi anak laki-laki.
Meski demikian, psikolog Emi menuturkan bahwa kekerasan yang ada pada game itulah yang kemudian menstimulasi sifat-sifat kekerasan yang ada pada diri manusia. Sensitivitas seorang pemain game terhadap nilai buruk kekerasan akan semakin tumpul, karena ketika bermain game, ia akan berkali-kali melukai bahkan membunuh lawannya. Semakin sering ia membunuh, semakin besar nilai yang ia kumpulkan. Lama-lama akan semakin tertanam prinsip dalam dirinya bahwa kekerasan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan berbagai persoalan.
Kemudian, kebiasaan bermain game juga membuat pemain terasing dari lingkungannya. Bermain game umumnya dilakukan sendirian, dan itu dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Semakin seseorang kecanduan terhadap game, semakin sedikit pula waktu yang tersedia untuk berkomunikasi dengan teman-teman seusianya. Dari sisi ini, jelas sekali terbayang dampak negatif yang ditimbulkan oleh game. Si pemain akan kehilangan kemampuan untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Kalau pun secara online pemain dapat berinteraksi dengan orang lain, namun tentu hal ini berbeda dengan interaksi dengan orang yang terjadi secara real saat berkomunikasi tatap muka alias berhadapan langsung.
Dampak buruk game juga terlihat jelas pada prestasi pemainnya. Berdasarkan pengamatan saya, rata-rata pemain game dapat menghabiskan waktu selama 6-12 jam dalam sehari. Jumlah ini tentu terakumulasi, karena mayoritas pemain yang teramati sedikitnya telah bermain game selama 6 bulan. Padahal, mayoritas pecandu game adalah pelajar, baik di tingkat SD-SMP-SMA maupun mereka yang berkuliah. Waktu 6-12 jam tersebut jelas telah merenggut kesempatan mereka untuk membaca dan menelaah pelajaran-pelajaran sekolah.
Game juga bisa mengekang kreativitas pemainnya. Asumsi yang mengatakan bahwa ketika bermain game kreativitas pemainnya akan berkembang jelas merupakan anggapan yang keliru. Pemain memang memilih berbagai langkah yang tersedia saat ia bermain game. Akan tetapi, langkah-langkah tersebut sebenarnya sudah disiapkan oleh si perancang game. Artinya, pilihan pemain itu sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai bentuk kreativitas.
***
-Sabar ya, soalnya bersambung lagi :)-
No comments:
Post a Comment