Thursday, 26 May 2011

Kuliah Alternatif a la Gamer (Part 1)


“Permisi Mas, Sunu ada di sini gak?”
“Wah, saya kurang tahu tuh, Bu. Tapi seingat saya, di sini enggak ada yang namanya Sunu.”
“Aduuuh, terus dia ke mana ya? Katanya, dia sering main game tapi saya enggak tahu mainnya di mana.”
“Kalau gitu, ibu coba aja ke Batara, Starcom, atau ke Kubus. Siapa tahu Sunu main di sana, Bu.”
“Iya deh, saya coba ke sana. Soalnya Sunu udah 3 minggu enggak pulang ke kosannya. Makasih ya, Mas.”
***

Rabu sore pada awal November 2008, Dewi datang tergopoh-gopoh mendekati ruangan kaca berukuran 3,5m x 6m. Beberapa orang yang biasa bertandang menyebut ruangan kaca itu dengan nama BM, singkatan dari BungaMas Gamenet. Sama seperti hari-hari lainnya, sore itu BM terlihat sesak oleh orang-orang yang bermain game. Mereka berjalan lalu-lalang dari satu komputer ke komputer lainnya. Asap rokok mengepul di mana-mana. Begitu pintu dibuka, siapapun yang berada dalam radius satu meter dapat mendengar hingar-bingar lagu dari ruangan kaca itu. Belum lagi dengan teriakan di sana-sini. Tak ubahnya sebuah pasar malam.

Mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih, Dewi berdiri di depan pintu. Keningnya berlipat, tanda ia sedang diliputi kebingungan. Wanita berusia 52 tahun itu terlihat ragu untuk masuk dan hanya melongok-longok melalui dinding kaca.

Saya, yang sedang duduk di dalam BM menunggu pesanan nasi ayam jamur segera menyolek bahu Iman. “Man, itu ada ibu-ibu. Samperin dulu gih. Kasihan, mukanya kayak yang lagi kebingungan.” Iman segera bangkit berdiri dan menggeser pintu. Saya kembali asyik membaca buku. Si ibu rupanya sedang mencari Sunu, anaknya yang sedang kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (Fapet Unpad). Ia baru saja datang dari Jakarta setelah mendapat kabar, anaknya sudah tiga minggu tidak pulang ke kosannya di daerah Ciseke, Jatinangor. Karena dipanggil oleh Iman, saya pun menghampiri mereka berdua. Teman saya itu terlihat bingung. Kebetulan, dia juga mahasiswa Fapet Unpad, angkatan 2003. Paling tidak, ia pasti kenal siapa pemain di BM yang berasal dari Fapet. Tapi seingatnya tak ada satupun pemain di BM yang bernama Sunu.

“Saya bingung, Mbak. Kata ibu kosnya, Sunu udah tiga minggu enggak pulang. Dia enggak bilang sebelumnya mau ke mana. Kirim kabar ke saya pun enggak. Teman-teman kosnya bilang, Sunu sering main game. Tapi mereka enggak tahu Sunu mainnya di mana,” keluh Dewi saat saya memberikan catatan alamat tempat-tempat game lain di Jatinangor.

Tanpa diminta, Dewi mengeluhkan tindak-tanduk anaknya yang terdaftar sebagai mahasiswa angkatan 2007 itu. Menurutnya, anaknya berubah sejak kuliah. Sunu jadi lebih sering minta uang. Uang bulanan yang dikirimkan ibunya selalu habis sebelum akhir bulan. Alasannya, uang itu ia pakai untuk fotokopi bahan-bahan kuliah. Tapi rupanya kali ini si ibu kecolongan. Uang yang selalu Sunu katakan untuk fotokopi bahan kuliah tampaknya ia habiskan di depan komputer.

“Saya heran, kok bisa, ya, dia main game sampai begini. Kalau dia enggak pulang ke kos, berarti dia enggak kuliah juga kali, ya? Padahal dulu dia itu anak rumahan sekali lho, Mbak. Pulang sekolah pasti langsung pulang. Kalau weekend dia main bareng teman-temannya untuk main basket atau sekadar nonton film-film terbaru. Tapi sekarang koq dia berubah drastis, ya? Saya benar-benar enggak ngerti, apa sih yang dia cari dari main game?” keluhnya.

Seraya membuka payung ungu yang sedari tadi digenggamnya, ia pamit. Sore itu Jatinangor hujan. “Saya mau cari anak saya lagi, Mbak. Mudah-mudah dia ada di salah satu tempat ini,” ucapnya penuh harap sambil memegang erat catatan yang saya berikan. Wanita itu pun berjalan menembus hujan. Langkahnya terburu-buru. Entah karena menghindari percikan air hujan atau karena ingin cepat-cepat bertemu anaknya.
***

Sambil menutup pintu BM, saya menengok ke wajah-wajah yang terlihat serius di depan komputer. Wajah-wajah yang saya kenal sebagai pemain game handal, bahkan di komunitas game yang mereka mainkan. Ada yang tertawa, bingung, mengantuk, bahkan ada yang geram meneriakkan instruksi kepada pemain lain lewat microphone yang tersambung ke headphone di telinganya. Beberapa orang masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang mereka pakai dua hari yang lalu. Di sudut ruangan yang tertutup tirai menyembul sepasang kaki. Pemiliknya sedang tertidur pulas setelah seharian nongkrong di depan komputer. Di depan meja-meja komputer tergeletak beberapa botol Aqua kosong, gelas-gelas kopi yang isinya tinggal seperempat, mangkok bekas mie goreng, dan asbak penuh puntung rokok. Semua komputer terisi. Kebanyakan pemain adalah mahasiswa tingkat akhir—yang sudah seharusnya lulus. Hanya satu-dua orang yang masih tergolong ‘anak baru’. 

Sore itu, saya seperti ‘perawan di sarang penyamun’. Cuma saya satu-satunya perempuan di dalam ruangan BM, selebihnya laki-laki. Saya kenal hampir semua langganan BM, terutama pemain lama. Sebutlah Gugum mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) 2005, Akrom yang dari Fapet 2003, Ade dari Jurusan Fisika FMIPA 2005, Aldy Fapet 2001, Luhut dan Irsan dari Geologi 2002, Eka Fapet 2003, Aby Fikom 2006, Hamdan Fakultas Kedokteran (FK) 2004, Nicky Fakultas Sastra (Fasa) 2005, Bayu Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) 2007, Yap Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) 2005, dan sederet nama lainnya. Hampir semua fakultas kecuali Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Ekonomi (FE) yang bertempat di Dipati Ukur, Bandung, memiliki pemain di BM. Tak heran jika kami menyebut juga BM sebagai ‘Universitas Bunga Mas’, dengan jadwal ‘kuliah’ setiap sore hingga tengah malam. 

“’Kampus bawah’ dosennya siapa aja yang lagi tugas jadi operator. Rektornya Dany (pemilik BM,red), mata kuliahnya tinggal pilih deh, game mana yang mau dimainin. Hahaha,” urai Aby terbahak-bahak.

‘Kampus bawah’ adalah sebutan lain bagi BM. Alasannya karena BM berada di lower ground, dan terletak di depan gerbang Unpad—yang lokasinya berada di daerah bawah karena ketinggiannya lebih rendah daripada wilayah kampus Unpad.
***

-Bersambung ke Part 2-


No comments:

Post a Comment