Bukan hal yang aneh bila kita memasuki komunitas gamer (pemain game online,red), mayoritas pemain berlatar belakang sebagai mahasiswa. Memang belum ada data statistik secara spesifik yang menyebutkan berapa jumlah mahasiswa di Indonesia yang bermain game online. Namun berdasarkan pengamatan saya dengan memasuki tujuh permainan game online terlaris dari sekitar 12 permainan yang dimainkan di Indonesia, 9 dari 10 pemain yang saya kenal adalah mahasiswa, sisanya kerja atau masih sekolah tingkat menengah atas (SMA). Maka tak aneh pula jika kerap tercetus pelesetan-pelesetan seputar kegiatan perkuliahan, misalnya kegiatan ‘kuliah’ di Universitas BungaMas sebagai pengganti kuliah resmi di Unpad.
Bermain game online dipelesetkan sebagai kegiatan kuliah karena mayoritas waktu si gamer digunakan di depan komputer untuk bermain game, bukannya di dalam ruang kelas untuk kuliah. Bahkan, ada gamer yang masih kelas 3 SMA asal Jakarta mengaku pernah bolos ujian kenaikan kelas untuk bermain game. Bayu, mahasiswa Fikom Unpad juga pernah merelakan kuliahnya terbengkalai selama satu semester dengan alasan yang sama: demi bermain game.
Sebegitu besarkah daya tarik yang ditawarkan beragam permainan game online sehingga para pemainnya seakan rela mengorbankan apapun—termasuk pendidikannya—demi bermain game?
“Main game itu buat ngisi waktu luang. Toh, enggak selamanya kok, pemain yang addict (kecanduan,red) kuliahnya terbengkalai. Itu kan tergantung masing-masing orang. Ada yang emang enggak lulus-lulus gara-gara skripsi terbengkalai. Tapi yang kuliahnya bener juga enggak sedikit. Tuh, contohnya Lies. Dia emang lulusnya lama, tapi baru 2 minggu lulus udah langsung diterima kerja. Sekarang dia kerja di BCA, dan masih rutin main game,” tutur Luhut.
Luhut sendiri termasuk dari golongan yang tak kunjung lulus. Alasannya, “Pusing bikin skripsi. Udah tiga bulan belum ada perkembangan”. Padahal mayoritas teman-teman seangkatannya sudah menjadi sarjana. Menyesalkah ia?
“Enggak ah, buat apa nyesel? Lagian apa sih yang salah dari main game? Malah banyak untungnya kok. Kita bisa dapet temen baru, melatih gerak refleks tangan, melatih konsentrasi, sekaligus refreshing,” jawabnya.
“Dapat uang. Itu keuntungan lain main game,” tambah Gugum bersemangat.
Maklum, ia baru saja berhasil menjual karakter game yang dimilikinya. “Dijual murah banget. Cuma Rp 1,7 juta. Soalnya udah males mainin (karakter,red) yang itu. Sekarang lagi mainin karakter yang lain,” jelasnya.
Jangan heran jika harga yang dipatok Gugum ia bilang murah. Bahkan menurutnya, empat bulan yang lalu ada pemain yang menjual karakternya seharga Rp 13 juta. Sebuah harga yang sangat fantastis untuk sebuah karakter game yang hanya ada di dunia maya.
“Boleh percaya boleh enggak. Tapi ini real, kejadian nyata. Orang yang jual itu temen satu guild (perkumpulan pemain—organisasi serupa partai, red) ) aku di game RF Online. Karakternya dia emang udah punya nama di RF, semua equip dan armor (senjata dan pakaian karakter,red)-nya tergolong bagus. Katanya ada yang nawar mau beli Rp 13 juta, akhirnya dia lepas tuh karakter. Sekarang dia udah punya karakter baru yang lebih jago daripada sebelumnya. Denger-denger ada yang nawar mau beli juga. Tapi yang ini katanya enggak akan dia jual,” jelas Gugum bersemangat.
Cuma orang gila yang rela buang-buang uang demi sebuah permainan. Mungkin itu yang Anda pikirkan. Tapi nyatanya, ada banyak ‘orang gila’ yang membuang uangnya untuk ditukarkan dengan karakter game atau uang mainan yang berlaku di game tersebut.
“Kalo buat orang yang enggak main game, pasti mikirnya buang-buang uang. Apalagi kalo nominalnya sampe berjuta-juta. Tapi buat kami, pemain game online, ada sebuah kepuasan tersendiri kalo berhasil naik level. Rasanya puas banget kalo karakter yang kita mainin bisa dilengkapi dengan armor dan equip yang bagus. Kalo barang yang dijual enggak bisa dibeli pake mata uang game, ya kami beli pake uang rupiah. Emang sih, abis itu harus puasa berhari-hari. Tapi buat kami, itu sebanding dengan rasa puas yang didapat. Apalagi kalo karakter kita udah punya nama. Wuihh, rasanya bangga banget!” tambahnya berapi-api.
Iqbal membenarkan pernyataan Gugum. Ia pernah menghabiskan Rp 200 ribu untuk membeli voucher game Ayodance—permainan online di mana karakter pemain saling adu ketangkasan dalam menari. Voucher tersebut ia gunakan untuk membeli pakaian bagi sang karakter. “Itu sebenarnya uang buat bayar kos. Tapi langsung abis dalam waktu sepuluh menit buat beli baju-baju. Abis itu cuma bisa bengong. Buat makannya ditanggung rame-rame sama anak BM. Hehehe,” tuturnya sambil tertawa ringan. Menurutnya, ia nekat berlaku demikian agar karakter yang dimainkannya lebih terlihat keren. Bahkan ia berencana untuk kembali membeli voucher untuk membeli baju-baju lainnya.
Dalam game online, transaksi jual-beli dalam mata uang rupiah sangat lazim dilakukan. Mulai dari transaksi jual-beli voucher game, jual-beli mata uang game, hingga transaksi jual-beli karakter game. Semuanya dilakukan antar pemain. Padahal, pihak penyedia layanan game sudah melarang penggunaan mata uang rupiah sebagai alat tukar transaksi.
“Kami tidak pernah menganjurkan pemain untuk menggunakan rupiah sebagai alat tukar. Kami sudah menyediakan mata uang dalam game, yang bisa didapat pemain dengan cara menempa, menambang, menjual barang kepada NPC (karakter game yang disediakan khusus untuk transaksi,red), ataupun dengan menyelesaikan quest (permintaan dari NPC sebagai syarat kenaikan level,red). Bahkan saat pemain membuat karakter, kami sudah melampirkan peraturan yang harus dipatuhi pemain. Salah satunya adalah tidak bertransaksi dengan pemain lain menggunakan rupiah. Kami tidak bertanggung jawab jika terjadi penipuan saat pemain bertransaksi menggunakan alat tukar selain yang kami sediakan di dalam game,” tegas Dhewala, salah seorang game master (GM) Audition Ayodance.
“Emang sih dilarang jual beli pake uang beneran. Tapi mau gimana lagi? Abisnya butuh. Kalo soal penipuan sih emang kadang ada. Tapi itu masih bisa diakali dengan transaksi langsung. Kedua pemain bertemu, untuk sama-sama memastikan kebenaran transaksi. Biasanya kalo yang kena tipu itu yang via transfer. Kita kan enggak kenal semua pemain. Makanya aku kalau transaksi beneran (pakai rupiah,red) pasti ketemuan. Lawan transaksinya juga enggak sembarangan. Kenalan dulu, minta alamat dan nomor teleponnya, terus tanya sama pemain lain. Kita cari tahu, pemain yang mau transaksi itu namanya bagus gak di game? Dia bersih apa enggak? Maksudnya, pernah ada track nipu gak orangnya, siapa aja orang yang pernah transaksi sama dia. Tapi, ya, emang harus hati-hati sih, apalagi kalo menyangkut uang beneran,” jelas Gugum panjang lebar.
Mengenai aksi tipu-menipu di game online, DJ Hikari, GM Audition Ayodance berpendapat lain. Menurutnya, penipuan yang melibatkan kehadiran rupiah masih bisa diatasi dengan cara kontrol yang ketat dari pihak penyedia game yang bersangkutan.
“Di Ayodance sengaja ditiadakan fasilitas transaksi sebagaimana yang lazim tersedia di game lainnya. Dengan menghilangkan fitur transaksi, sedikit banyak ini dapat mengurangi penipuan yang berkedok jual beli mata uang game melalui transfer antar karakter. Jika ingin memberi sesuatu pada karakter lain, pemain dapat memanfaatkan fasilitas gift, di mana pemain memberikan hadiah berupa barang. Ini tidak bisa dibohongi, karena transaksinya disimpan dalam server kami,” jelas DJ Hikari.
***
-Bersambung lagi yaaa-
No comments:
Post a Comment